MAKAM ULAMA BESAR DI LERENG TIMUR GUNUNG MERBABU

 " LANGGAM NISAN SYECH MAULANA IBRAHIM AL MAGHRIBI DAN KI AGENG PANTARAN "


Makam Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi

Makam Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi dan Makam Ki Ageng Pantaran, letaknya berada di lereng Gunung Merbabu sisi sebelah timur. Di tepi aliran lahar dingin dari Gunung Merbabu, lebih tepatnya berada di sisi sebelah barat, dan sebelah utara. Jika dari sebelah barat, jarak aliran lahar dingin dengan komplek makam kisaran 200 meter. Jika jarak dari komplek makam dengan aliran lahar dingin yang dari sisi utara kurang lebihnya 70 meter. Berada di Dusun Candisari, Desa Pantaran, Kecamatan Gladagsari, Kabupaten Boyolali, di komplek makam ini kita bisa merasakan perjuangan dan sepak terjang para pendahulu kita. Walau pun secara nyata kita tidak pernah merasakan perjuangan tersebut di masanya. Berbagai macam kisah dan cerita, perjuangan itu bisa membawa sebuah harapan dan cita cita.Akan tetapi, semua hanya terdiam, seolah olah memori yang tersimpan disini menyampaikan pesan dengan rapi dan hening.

Makam Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi

Nisan Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi

Banyak sekali tokoh tokoh dari pejabat pemerintahan, hingga tokoh tokoh yang memiliki tingkatan nasab keilmuan yang tidak di ragukan lagi. Dari berbagai masa atau periode kepemimpinan, yang dulu memiliki sepak terjang yang sangat apik. Hingga pada akhir kisah, hanya waktu yang mampu menentukan, menjemput dan mengakhiri semuanya. Memang sudah di gariskan, hanya batu nisan yang mampu memberikan keterangan dan pesan, untuk di sampaikan lewat seni pahatan. Sebenarnya ada keistimewaan apa di tanah ini, seolah tokoh tokoh tersebut memberikan wasiat, hingga masa akhirnya untuk menetap dan berpusara di tanah ini. Semua terkonsep, dan mengikuti jejak dari tokoh pembuka awalnya.  Semua sudah tersusun, semua sudah tertata dengan rapi, semua sudah sesuai dengan urutan masa dan status sosialnya. Mulai dari masa kejayaan seorang tokoh pejabat publik dari Kasultanan Pajang, tokoh sepiritual dari kasultanan Mataram Islam, tokoh pejabat pemarintahan dari Kasunanan Surakarta, dan tokoh pejabat dari Kasultanan Jogjakarta. Secara keseluruhan, tokoh tokoh tersebut memang memiliki peranan penting di masanya. Karakter dan jiwa kepemimpinannya benar benar sudah terbentuk dari wibawa yang di sandangnya. Sehingga, mampu mengurukir  sejarah, mampu memberikan keteladanan, mampu memberikan harkat, martabat, berupa adab, adat dan budaya.

Makam Dewi Nawangwulan

Banyak kisah cerita yang bersumber dari masayarakat, menggambarkan karakter dari penokohan yang di keramatkan. Bahkan sang tokoh  selalu di ceritakan dan mendapatkan posisi yang terbaik dari status sosialnya. Dengan dipaksakan untuk memenuhi porsi dari kisah cerita yang tidak seharusnya. Mengikutsertakan nama subyek, predikat, dan obyek seolah olah pembenaran itu telah terjadi dan sudah  terjadi. Dari sini, semua akan terjawab dengan adanya bukti dari sepasang prasasti berupa batu nisan, yang mampu memberikan informasi kepada sosok tokoh yang di makamkan.

Makam Ki Ageng Pantaran

Di komplek makam Syech Maulana Ibrahim Al Magribi, terdapat banyak sekali makam makam kasepuhan dari berbagai peride. Dari akhir kasultanan Demak awal Kasultanan Pajang, Periode Mataram Islam Sultan Agung, Langgam Pakubuwono Periode 1800an awal, sampai periode pasca Perang diponegoro, Nisan nisan Langgam Hamengkubuwono memiliki kisah pahatan yang sama yaitu, Awal periode 1800an, hingga periode pasca Perang Diponegoro. Bentuk bangunan komplek pemakaman Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi memiliki 6 teras. Teras yang pertama dari bawah, komplek pemakaman baru, artinya komplek pemakaman jaman moderen. Untuk teras yang kedua, komplek pemakaman dengan periode abad 20an, bercampur dengan makam makam baru.Untuk teras ke tiga dan sampai teras ke 5, memiliki kisah cerita penempatan makam yang sama. Akan tetapi, ada yang menurutku agak janggal pada bagian teras ke 5. Terdapat makam yang terbilang paling sepuh dari segi pahatan nisannya. Dengan nama penokohan yang pernah di sampaikan, bernama Mbah Sholeh,  memiliki status sosialnya dengan sebutan Kyai. Belum dapat di ketahui gelar jabatan beliau, hanya saja pahatan nisan yang berada di atsa pusaranya memberikan informasi bahwa, beliau berasal dari Kasultanan Pajang. Pahatan nisan yang sangat polos, tanpa adanya ornamen yang memiliki arti seperti Purnama Sidi, Suryo Sumunar, sodo lanang atau soko tunggal. Hanya pahatan sabuk yang menghiasi bagian pinggang nisan, yang di jadikan sebagai identitas masa atau periodenya.

Makam Ki Ageng Pantaran

Nisan Ki Ageng Pantaran

Untuk teras pertama atau bagian komplek makam paling atas, terdapat enam makam Tokoh yang sudah di sebutkan Gelar dan status sosialnya. Ke enam tokoh yang di sebutkan berada di dalam bangunan Cungkup yang menyerupai Mushola. Bahkan, konsep dari komplek pemakaman ke enam tokoh tersebut memiliki pemetaan berdasarkan terasnya masing masing. Teras pertama, terdapat makam dua tokoh yang namanya cukup tersohor, dan di kenal sebagian besar lapisan masyarakat di pulau Jawa. Yang pertama, tokoh Ki Ageng Kebo Kanigoro, yang seringnya di sebutkan sebagai Kakak kandung dari Kebo Kenongo, yaitu Ayah dari Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, dan Kebo Amiluhur. Untuk makam yang satunya di sebukan sosok wanita yang di kisahkan sebagai Istri dari Ki Ageng Kebo Kanigoro yang bernama Dewi Nawang Sih. Kedua makam ini berada di dalam sebuah ruangan seukuran kamar. Masih di teras pertama di luar ruangan, terdapat makam Ki Ageng Pantaran yang pernah di kisahkan bahwa, beliau merupakan Murid dari Syech Maulanan Ibrahim Al Maghribi. Makam beliau bersebelahan dengan makam seorang tokoh yang memiliki Gelar dengan sebutan Ki Ageng Mataram. Untuk teras pertama paling atas, terdapat makam Ulama besar yang memiliki sepak terjang dengan media dakwahnya. Beliau memiliki status sosial dengan sebutan Syech, dengan Nama Maulana Ibrahim Al Maghribi. Makam Beliau bersanding dengan salah satu tokoh perempuan dengan sebutan Nyai Ageng Kemuning. Kedua nama tokoh besar tersebut merupakan suami istri, dalam sebuah kisah cerita yang sudah di riwayatkan.

Makam Ki Ageng Mataram

Nisan Langgam HB

Kita akan bahas sartu persatu

Jika di perhatikan komplek makam sebesar ini, memiliki perbedaan dengan komplek makam para tokoh di wilayah lainnya. Baru kali ini dan melihat secara langsung, konsep penataan makam yang tidak seperti biasanya. Kurang begitu faham dengan konsep penataan tersebut. Jika di perhatikan, makam Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi memiliki perbedaan dengan komplek makam lainnya. Jika di perhatikan, konsep penataan makam di komplek lain, tertata sesuai dengan periodenya. Semakin kebawah, periodenya semakin muda. Akan tetapi, seolah olah di komplek makam Syech Maulana Ibrahim Al Magribi tidak berlaku dengan adanya konsep seperti itu. Buktinya, Makam Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi, justru bersanding dengan salah satu makam tokoh bernama Dewi Nawangwulan. Bahwa pahatan nisan beliau memberikan informasi dengan typologi atau langgam HB, ( Hamengkubuwono ) periode 1800 an awal. Lengkap dengan bangunan jirat, berbahan baku batuan putih atau batu cadas. Sedangkan untuk kadar kekerasannya tidak sama dengan batu batuan andesit. Untuk batuan jenis cadas putih, sangat rentan dengan keadaan iklim di Nusantara.  Mudah aus dan sangat rentan dengan benturan benda keras. Yang sering di pergunakan untuk kontruksi bangunan candi, mau pun makam makam sepuh periode Mataram Islam Awal hingga periode Mataram Islam Amnagkurat. Untuk batuan jenis cadas putih sangat rentan terhadap cuaca, mudah aus, dan mudah rusak dengan benturan benda keras.

Bangunan Jirat Makam Al Maghribi

Bangunan Jirat Makam Al Maghribi

Nisan Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi memberikan informasi bahwa typologi nisan beliau memiliki langgam Tembayat periode Mataram Islam Sultan Agung kisaran tahun1600 an. Untuk pahatan nisan kedua tokoh tersebut memiliki rentang waktu kisaran 200 tahun. Itu artinya, kehidupan tokoh Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi dengan tokoh Dewi Nawangwulan tidak sama. Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi memiliki sepak terjang pada masa pemerintahan Sultan Agung, sedangkan Dewi Nawangwulan, memiliki sepak terjang pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono ke III, sangat jauh periodenya, selisih kurang lebih 200 tahun. Penempatan makam tokoh keduanya terdapat pada teras bagian atas.


Susunan Jirat Makam Ki Pantaran

Bangunan Jirat Makam Ki Pantaran
Memiliki kisah cerita yang sama, Makam Ki Ageng Pantaran terletak pada teras ke dua dari atas. Makam tokoh Ki Ageng Pantaran bersanding dengan makam salah satu tokoh dengan sebutan Ki Ageng Mataram. Untuk pahatan  nisan kedua tokoh tersebut memiliki perbedaan masa atau periodenya. Nisan Ki Ageng Pantaran dengan langgam Tembayat periode Mataram Islam Sultan Agung, sedangkan nisan untuk tokoh Ki Ageng Mataram dengan langgam nisan HB ( Hamengkubuwono ) periode 1800 an awal.

Setelah melihat konsep makam yang berada di dalam bangunan cungkup pada teras pertama dan ke dua. Kita beralih ke luar bangunan, lebih tepatnya berada di bagian teras ke empat. Terlihat makam yang paling tua dari hitungan periodenya. Makam tersebut di kelilingi makam dari tokoh tokoh yang beda periodenya. Bahkan untuk rentang waktunya selisih kisaran 250 tahunan. Telah di ketahui pusara tersebut, adalah tokoh penting di masanya dengan sebutan Mbah Kyai Sholeh. Bentuk dari pahatan nisan itu sendiri memberikan informasi Akhir Demak awal Pajang atau masa transisi. Dan sangat jelas sekali letak makam beliau, berada di bagian tengah tengah teras ke empat. Jika di haruskan mengikuti konsep penataan makam yang sebenarnya. Seharusnya, makam Simbah Kyai Sholeh berada di dalam bangunan cungkup paling atas atau teras pertama. Sedangkan untuk tata letak makam Syech Maulana Ibrahim Al Mahgribi dengan Ki Ageng Pantaran, berada pada teras baagian ke dua. Karena sudah jelas informasi dari pahatan nisan Simbah Kyai Sholeh lebih tua periodenya, jika di bandig nisan tokoh Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi dengan Ki Ageng Pantaran. Selisihnya kisaran 50 tahun di antara nisan keduanya. Nisan Mbah Kyai Sholeh periode Pajang, sedangkan nisan Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi Periode Mataram Islam Sultan Agung. Tapi kenapa konsep penataan makam tidak di buat demikian, dalam arti, makam yang terbilang tua periodenya tidak di dalam, akan tetapi sebaliknya. Tidak ada yang di bedakan, dan tidak ada pengaruh dari kesenjangan sosial di antara keduanya. Semua mengacu pada nasab keilmuan. Jelas di katakan, atau jelas di sampaikan dalam typologi dan pahatan nisan masing masing tokoh. Bahwa, nasab keilmuan Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi lebih tinggi jika di banding dengan Simbah Kyai Soleh. Sejak periode Wali Songo, nasab keilmuan dari seorang ulama besar itu di utamakan. Walau pun status sosial seperti, gelar jabatan dalam sistem pemerintahan itu sangat tinggi. Ulama itu adalah Sabdo Pandito Ratu, ucapan atau perintah ulama itu memiliki kesamaan dengan perintah dari Pendeta, Brahmana mau pun Raja. itu yang di jadikan pegangan hingga sampai sekarang


Jika kita pahami, bangunan makam dari kedua tokoh antara Syech Maulana Ibrahim Al Maghribi dengan Ki Ageng Pantaran hampir tidak memiliki perbedaan. Memang ada kesamaan di antara kedua bangunan tersebut. Yang pertama, bangunan makam kedua tokoh berbahan baku dari batu putih. Sama sama memiliki kadar kekerasan yang tidak terlalu tinggi jika di banding dengan batuan andesit yang di pergunakan sebagai material bangunan Candi. Memiliki pahatan atau ornamen pada konstruksi bangunan jirat makam. Pahatan ornamen yang di fungsikan sebagai penghias, mau pun orname yang memiliki tingkatan arti yang sangat luas. Semua di padukan, semua di ukir pada media yang sama. Secara keseluruhan, mulai dari bangunan jirat makam, pahatan nisan, ukiran yang di fungsikan sebagai penghias, telah mengadopsi dari sebuah bangunan pemujaan, yaitu Candi. Coba di perhatikan saja setiap detail ukiran mau pun pahatan, mulai dari simbul yang memiliki arti dan keartistikan seni bidang hiasnya. Istilah canden, yang di serap dari kalimat dasar candi. Adalah, membangun makam seseorang yang di tokohkan, karena memiliki keahlian di bidangnya. Setelah tokoh tersebut wafat mencapai 1000 hari, baru makam tokoh tersebut di bangun sedemikian rupa. Dengan dasar supaya, tokoh tersebut tetap di kenal sebagai tokoh yang pernah memiliki jasa besar pada saat membantu kelancaran di sistem pemerintahan pada masanya masing masing.


Tidak ada yang percuma, ketika pikiran kita mulai berkembang u tuk mengenal jejak leluhur kita dari hindu buddha dan peradaban islam. Itu lah yang di namakan tidak ada benang merah yang terputus. 




































Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU LUMPANG DAN UNFINIS YONI KENDALI SODO

SITUS CANDI DI MAKAM WALIULLOH KHASAN MUNADI

MAKAM WALIULLOH SYECH SUDJONO DAN KE DUA SAHABATNYA