PUNDEN TINGKIR, SANGIRAN, KALIJAMBE, SRAGEN

 " SEBUAH WILAYAH ADA TEMPAT YANG DI PUNDENKAN DENGAN SEBUTAN " TINGKIR " JANGAN JANGAN "

Kumpulan Nisan
dan jirat,
 yang di
Temukan ulang
Punden Tingkir

Banyak yang mengenal dengan sebutan Punden Tingkir. Terletak di Dukuh Sangiran, Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Obyek yang dimaksud berada di puncak bukit yang tidak terlalu tinggi. Berada disisi sebelah selatan dan berdampingan dengan pemukiman warga. Lebih di kenal dengan sebutan Bukit Cemara. Cerita masyarakat sekitar, pada tahun 1980 an, bukit tersebut banyak di tumbuhi Cemara. Yang menjadi ciri kas tanaman endemik dataran tinggi atau perbukitan. Berjalannya waktu, dan majunya perkembangan zaman, bukit cemara mengalami pergantian tanaman jenis Jati dan Akasia. Bahkan,  pernah dibangun tempat rekreasi berupa Wahana Wisata Cagar Alam. Yang dipenuhi dengan tanaman hias bunga celosia  berbagai macam warna. Sebagai obyek tambahan Background untuk Spot poto. Selain itu, ternyata bukit cemara memiliki legenda, dengan alur cerita secara turun temurun. Yang mengisahkan tentang perjalanan tokoh penguasa yang berpengaruh di masanya. Tokoh yang di sebutkan dalam alur cerita rakyat bergelar Sultan Hadiwijaya, yang memiliki nama kecil Jaka Tingkir atau Mas Karebet.

Mengisahkan sebuah perjalanan panjang yang di lakukan oleh Jaka Tingkir dan para sahabatnya. Perjalanan panjang sebelum  Jaka Tingkir diangkat menjadi Sultan di Kerajaan Pajang. Dari cerita ini, awal mula punden tingkir mulai di kenal oleh masyarakat luas. Pada suatu hari, prajurit keraton yang terdiri dari Tamtama, Sorogeni, Prawiro Anom, Jayeng Astra, Doropati, dan Joyosuro. Berjalan mengiringi Jaka Tingkir yang sedang berkuda menuju tepian sungai Bengawan Solo. Perjalanan itu di ikuti ketiga sahabatnya yang bernama, Patih Mas Manca, Tumenggung Wilamerta, dan Tumenggung Wuragil, untuk menuju ke Kasultanan Demak. Yang mengharuskan perjalanan rombongan itu melalui Bengawan Solo. Pada saat itu, armada berupa perahu mau pun kapal belum ada. Sehingga, rombongan tersebut memaksakan keadaan untuk membuat rakit yang berbahan baku dari tanaman bambu. Rakit kalau dalam bahasa jawa di sebut dengan Getek. Selama perjalanan, rombongan Jaka Tingkir  mengalami berbagai macam rintangan. Dengan tekad bulat, getek itu didayung hingga memasuki sebuah wilayah yang di sebut Kedung Serngenge. Sedangkan tempat itu terkenal dengan buaya muara penghuni bengawan. Dengan keadaan seperti itu, Jaka Tingkir tidak mengurungkan niatnya. Tetap berjalan sesuai dengan kemauannya. Suatu ketika Jaka Tingkir mengingat pusaka Timang pemberian dari gurunya yang bernama Ki Buyut Banyubiru. Pusaka itu di manfaatkan oleh Jaka Tingkir untuk menghalau rintangan yang menghadang. Sesampainya di Kedung Serngenge, kawanan Buaya bermunculan dari dasar Bengawan ke permukaan. Tidak hanya satu, dua, mau pun tiga ekor saja. Akan tetapi, buaya buaya itu berdatangan dengan jumlah yang sangat banyak. Kisaran 40 ekor yang muncul di permukaan bengawan. Seolah olah, buaya itu sengaja untuk menghadang rombongan Jaka Tingkir. Kawanan buaya tersebut mengejar rombongan hingga sampai dapat.  Kawanan buaya itu tidak bertindak sendirian, ternyata memiliki ratu berwujud siluman yang memerintahkannya. Terjadilah perkelahian di antara keduanya, yang tidak dapat di hindarkan. Posisi itu, Jaka Tingkir masih berusaha untuk merapatkan rakitnya ke tepian sungai. Berharap, supaya perkelahian itu tidak melibatkan sahabatnya, atau tidak ikut campur dalam permasalahan ini. Dengan menggunakan kesaktian dan pusaka pemberian Gurunya, Jaka Tingkir masih berusaha mengalahkan Pemimpin buaya dan kawanan. Sedangkan siluman sebagai pemimpin kawanan buaya, menggunakan segala tipu daya untuk melumpuhkan kekuatan Jaka Tingkir.  Dengan perkelahian yang sengit, dan belum menunjukan suatu kekalahhan di antara keduanya. Jaka tingkir dan pemimpin buaya sudah terlihat dalam keadaan lemah karena kehabisan tenaga. Dalam alur cerita yang berkembang, pusaka pamungkas itu di keluarkan. Entah bagai mana ceritanya, siluman buaya dan kawanan itu bisa tunduk dan mengakui kekalahannya. Sehingga, pada cerita akhir, 40 ekor buaya bersedia membantu Jaka Tingkir dan rombongan untuk melanjutkan perjalanannya. Buaya buaya itu mendampingi, dan mengantarkan sampai ke tepian bengawan. Sehingga, Jaka Tingkir dan rombongan selamat saat melakukan perjalanan dalam mengarungi bengawan.

Sampai di sini faham dengan alasannya, kenapa sepanjang sungai bengawan solo tidak mudah untuk mendapatkan kapal atau perahu. Dengan keadaan seperti itu lah yang membuat penduduk di sekitaran bengawan solo tidak membuatnya. Karena takut dengan kawanan buaya penghuni yang sesaat bisa memangsa, dan menerkamnya kapan saja.

Sesampainya di sisi tepian sungai bengawan solo, Jaka Tingkir dan rombongan sudah di jemput Prajurit dari Kasultanan Demak. Untuk di boyong, di arahkan jalan menuju Kasultanan Demak. Di tengah tengah perjalanan, semua rombongan beristirahat di sebuah perbukitan yang di anggap cukup teduh dan nyaman. Karena kecapekan dalam menempuh perjalanan yang teramat panjang. Di tambah lagi terkurasnya tenaga yang semakin berkurang setelah berperang melawan buaya penghuni Kedung. Beberapa saat di dalam istirahat, Jaka Tingkir pun tertidur dengan pulasnya. Saat mengganti posisi dan membalikan badan, tanpa sengaja tangan kiri Jaka Tingkir memukul salah satu prajurit punggawa dari Kasultanan Demak. Yang kebetulan punggawa itu tertidur di sebelah Jaka Tingkir. Pukulan yang teramat keras dan tanpa di sengaja itu, membuat nyawa punggawa tersebut melayang. Seketika punggawa itu meninggal di tempat. Saking bingungnya Jaka Tingkir timbul rasa cemas. Tidak berfikir panjang, jenazah punggawa tersebut segera di rawat sebagai mana mestinya, dan di adakan upacara pemakaman hingga paripurna. Di puncak bukit cemara, jenazah punggawa dari Kasultanan Demak itu di kebumikan. Di zaman yang semakin maju, serba moderen, serba canggih ini,  pemberian nama Punden tingkir masih sering di sebutkan. Bahkan, banyak dari kalangan  Mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi ternama, mengadakan sebuah penelitian dan kajian di tempat itu. Secara kebetulan, keberadaan Punden Tingkir masih diruang lingkup sebuah wilayah yang banyak menyimpan jejak Prasejarah di wilayah Kabupaten sragen, khususnya di Desa Sangiran. Sampai saat ini, punden yang berwujud makam kasepuhan itu mendapatkan perawatan dari salah satu warga setempat. Menunjukan suatu kepedulian sebagai wujud pelestarian Cagar Budaya walau pun berupa makam kasepuhan. Dan tempat itu lebih di kenal dengan sebutan punden tingkir. Apresiasi untuk beliau yang memiliki hati yang mulia. Atas nama Pak Tomo, Warga sangiran, semoga Gusti ALLOH, memberikan balassan yang terbaik untuk keluarga Panjenengan. Lantunan Do'a do'a dari leluhur, mengalir deras untuk keluarga panjenengan, Yang Terbaik. " AAMIIN YAA ROBB "

Yang perlu di ketahui, sebutan Punden dan Pepunden memiliki kesamaan dalam kalimat kata dasar, yaitu Punden. Walau pun memiliki kata dasar yang sama, kedua kalimat tersebut memiliki perbedaan dan peranan. Punden, merupakan sebuah obyek atau tempat, yang berwujud sebuah bangunan awal mula, atau permulaan, yang di jadikan sebagai penanda tumbuh kembangnya suatu peradaban. Sedangkan Pepunden adalah, salah satu penokohan yang menciptakan tempat atau punden itu sendiri. Dengan gambaran karakter yang di segani, yang di hormati dan di muliakan. Dan Pepunden adalah karakter tokoh, atau orang yang mengawali penempatannya. Misal, Jaka Tingkir mendirikan Kasultanan Pajang, dan mengangkat dirinya menjadi Raja atau Sultan, dan menempati Kerajaan yang di bangunnya. Jaka Tingkir predikatnya sebagai Pepunden, sedangkan Kasultanan Pajang adalah tempat yang di bangun, predikatnya sebagai obyek atau tempat menetap, untuk mengatur jalannya sistem pemerintahan. 

Sebenarnya yang di maksud dengan sebutan Punden Tingkir itu apa, adakah kaitanya dengan cerita rakyat yang sudah beredar secara turun temurun .. ??? 

Jika kita mengamati obyek yang di maksudkan oleh warga masyarakat sebagai Punden Tingkir, disini kita akan menemukan suatu kejanggalan. Karena, punden tingkir memiliki kesamaan dengan makam kasepuhan yang berada di wilayah lain. Sangat  sesuai dengan konsep dan tata letaknya. Dari pahatan nisan dan komponen bangunan pajiratan, jelas jelas memiliki kesamaan dengan komplek makam kasepuhan. Sekali pun itu dari penempatannya. Komplek makam kasepuhan juga ada yang bertempat di perbukitan, dan ada pula yang berada di tempat yang lapang. Sebaliknya, untuk penempatan Punden, juga memiliki kesamaan dengan komplek makam kasepuhan.  Perbedaan itu terletak pada fungsi dari masing masing obyek. Punden Tingkir berada di puncak perbukitan, secara sengaja, tempat itu pernah di pilih oleh pejabat pemerintahan. Bisa saja tokoh pejabat pemerintahan dari Kasultanan Demak, yang memegang kekuasaan sepenuhnya di wilayah itu. Untuk membangun salah satu tempat yang sudah terpilih. Yang nantinya, tempat tersebut akan di muliakan oleh ahli waris dan anak turunnya. Sebuah komplek pemakaman, yang di kususkan para tokoh yang memiliki peranan penting, yang  berpengaruh di masanya. Makam pejabat, dan para Ulama besar yang ikut andil dan berperan di dalam melancarkan roda sistem pemerintahan.

Dari hasil pemilihan tempat untuk pemakaman, berupa dataran tinggi atau perbukitan. Ternyata memiliki makna dan filosofi yang sangat kuat dalam kehidupan. Bahwa, tokoh yang meninggal menyandang Gelar jabatan dari pemerintah, dan memiliki nasab keilmuan. Makam tokoh tokoh Kasultanan, akan di bangun seperti monumen yang megah. Lengkap dengan serangkaian hiasan yang terpahat pada panel jiratnya. Pahatan berupa seni ukir yang menggambarkan betapa religiusnya tokoh yang di maksud. Pahatan profile yang detail di setiap komponen Pajiratan. Yang ternyata, memiliki konsep dasar sama dengan komponen Bangunan Candi. Pada pahatan batu nisan, memiliki kesamaan dengan profile stela, singgasana untuk bersandarnya sosok arca. Ada juga yang berpendapat, nisan memiliki kesamaan bentuk dengan pahatan profile media Prasasti periode Hindu Buddha. Jarak di antara kedua nisan memiliki ukuran panjang lebih dari dua meter. Tidak seperti pemasangan nisan nisan pada umumnya. Karena konsep seperti itu mengandung arti bahwa, tokoh yang di makamkan memiliki Derajad Pangkat dan Kedudukan yang tinggi. Bukan berarti, tokoh yang di makamkan memiliki ukuran dan tinggi badan yang menyerupai Raksasa. Jadi jangan heran ketika melihat makam makam kasepuhan, memiliki ukuran jarak nisan yang tidak pada umumnya. Tentang kenapa pemakaman itu berada di puncak bukit, karena tokoh yang di maksud memiliki Nasab Keilmuan yang tidak di ragukan lagi.

Dari perihal itu semua, ada pendapat yang menyatakan bahwa, pejabat atau ulama yang sudah meninggal, ingin selalu dekat dengan Sang Pencipta. Inilah jawaban dari alasan yang sebenarnya, tentang kenapa makam makam para pejabat pemerintahan dan ulama, kebanyakan berada ditempat yang lebih tinggi.

Setelah melalui berbagai macam proses dan syarat syarat yang di tentukan, bukit cemara telah di tetapkan sebagai komplek makam kasepuhan mulai dari periode Kasultanan Demak. Yang menguasai wilayah sragen dan sekitarnya.  Menjadi tempat untuk menyimpan memori dari sepak terjang tokoh yang di maksud. Untuk mengenang jasa jasa para pendahulu kita. Bahwa, di masa kehidupan, dan di puncak karirnya pernah mengabdikan diri diKasultanan Demak. Untuk membantu melancarkan  jalannya roda pemerintahan.

Kita buka tabir ini dengan mempelajari typologi nisan, sehingga dapat di ketahui, dan mampu memberikan jawaban tentang siapa saja tokoh yang di makamkan di atas Bukit Cemara.

Di mulainya untuk pemanfaatan pemakaman di bukit cemara, itu semua berawal dari Kasultanan Demak. Tokoh tokoh penting dari Kasultanan Demak seperti, Pejabat Pemerintahan dan para Ulama sudah mengawali membuka makam tersebut. Atau Istilah dalam Bahasa Jawa, Bedah Bumi. Bahkan yang memilih wilayahnya, yang menentukan tempatnya, semua berawal dari pemerintahan Kasultanan Demak. Sedangkan untuk Kasultanan Pajang, Kasultanan Mataram Islam, sampai periode Pakubuwono awal, periode periode tersebut hanya sebagai generasi penerus dari tempat pemakaman itu sendiri.

Sebelum pembahasan tentang penjelasan dan bukti bahwa, Kasultanan Demak lah yang berwenang, untuk pertama kali sebagai pelopor penunjuk yang menetapkan Bukit Cemara sebagai makam. Bahasan ini akan menjelaskan tata letak dan kondisi dari pada Bukit Cemara itu sendiri. Bukit Cemara memiliki kontur tanah yang membentang dan melintang membujur ke arah barat dan arah timur. Dengan ketinggian kira kira 110 mdpl dari permukaan air laut. Memiliki dua buah puncak yang notabenya sama sama berbentuk Piramid. Dari kaki bukit memiliki bentuk lebar, dan meruncing  ke bagian puncaknya. Sedangkan, untuk puncak tertinggi berada di sisi sebelah barat. Dan puncak terendah berada di sisi sebelah timur. Sedangkan tata letak yang di anggap sebagai punden tingkir, berada di puncak bukit bagian barat. Sedangkan puncak bukit sisi timur, tidak terbukti tentang keberadaan jejak yang pernah di tinggalkan. Hanya sebatas lahan kosong yang memiliki luas 3 meter saja. Bahkan hampir menyerupai akses jalan turun dari puncak menuju ke kaki bukitnya. Kondisi bukit cemara telah mengalami abrasi atau longsor, perihal ini di sebabkan pembangunan irigasi yang di mulai  sejak tahun 1980 sampai 1990 an. Titik longsor terjadi pada bagian sisi bukit yang berada di sebelah selatan. Dengan penggambaran terjadinya longsor memanjang dari sisi barat ke sisi timur. Dampak dari kejadian itu,  kerusakan alam di seputaran bukit telah merubah segalanya. Sudah sangat jelas pastinya, pepohonan  larut terbawa material longsoran hingga sampai ke kaki bukit. Bukan itu saja, dampak longsor itu sendiri melarutkan beberapa bangunan makam kasepuhan yang berada di puncaknya. Itu terbukti dari pengakuan dari salah satu warga, saat pembuatan akses jalan menuju puncak untuk wahana wisata baru, para pekerja proyek banyak menemukan komponen bangunan makam seperti pajiratan. Untuk temuan lainnya adalah, beberapa batu nisan yang telah memberikan informasi atau keterangan periode yang berbeda beda. Mulai dari nisan yang paling tua periodenya, hingga sampai nisan yang paling muda periodenya.

Hasil dari penemuan tersebut di kumpulkan, dan di tata ulang walau pun tidak menemukan titik awal penempatannya. Penataan ulang yang di lakukan oleh warga, hanya sekedar menata saja. Dengan niatan yang tulus, iklas, untuk mengembalikan Kearifan lokal dan Budaya dari leluhurnya. Jika penataan itu mengacu pada konsep bangunan makam awalnya, tata letak penempatan nisan yang berada di puncak seharusnya dari Periode Kasultanan Demak angka tahun 1500 an. Baru di susul dengan penataan konsep periode yang berikutnya, atau periode sesudahnya. Karena jika di amati untuk saat ini, penataan nisan yang berada di puncak bukit memiliki 2 typologi dan 2 periode yang berbeda. Antara nisan dengan langgam Kasultanan Pajang, berdampingan dengan nisan langgam Tembayat periode Pakubuwono 1800 an awal. Dan rentang waktu periode keduanya terbukti sangat jauh sekali. Seharusnya, periode Kasultanan Pajang berada di teras ke dua dari atas, dan periode Kasunanan Pakubuwono berada di teras paling bawah. Untuk menduduki teras pertama, atau teras paling puncak seharusnya nisan dengan Typologi dari Kasultanan Demak. Untuk temuan nisan, dan panel bangunan pajiratan, masih tertata rapi di teras bagian bawah. Dan beberapa bagian nisan berlanggam Demak dan Pajang, ada yang terjepit di bawah akar Pohon Beringin. Pohon beringin itu tidak terlalu tua, jika di hitung dari masa tumbuhnya. Pohon Beringin yang di tanam oleh juru pelihara makam, sudah di mulai sejak tahun 1992.  Dengan tujuan supaya, tempat tersebut tetap terjaga kelestarian alamnya, dan memberikan manfaat bagi Ekosistem yang berada di sekitar. Kepedulian juru pelihara makam terhadap keberlangsungan ekosistem tersebut, sudah di mulai sejak tahun 1990 an hingga sampai saat ini.

Mencakup perihal itu semua, sudah memberikan penjelasan bahwa, Punden Tingkir adalah komplek makam kasepuhan yang di bangun sejak periode Kasultanan Demak berkuasa. Walau pun dari cerita rakyat penyebutan Punden Tingkir, bukan berarti obyek tersebut Petilasan dari Joko Tingkir Penguasa Pajang kala itu. Yang pernah di ceritakan oleh rakyat secara turun temurun. Dengan kesaktian yang di miliki, yang keluar tanpa di sengaja. Hingga menyebabkan jatuhnya satu korban seorang abdi dari Kasultanan Demak yang meninggal. Akan tetapi, pembacaan typologi nisanlah yang memberikan jawaban ilmiah dan fakta, yang mampu membuktikan suatu kebenaran adanya perihal itu.

Apakah punden tingkir bisa di jadikan acuan tentang keberadaan makam Jaka Tingkir penguasa Pajang. Padahal, jika kita amati dari pemilihan tempat untuk pemakaman, sudah sangat cukup untuk di jadikan bukti. Bahkan dari konsep penataan makam itu, juga bisa di jadikan suatu alasan. Di tambah lagi temuan temuan nisan langgam Pajang, juga ikut mewarnai komplek makam tersebut. Tentang kriteria tokoh yang dimakamkan, semuanya ada dalam isi penyampaian ini.

Mengenahi akan hal itu, semua butuh kajian, dengan tahap penelitian. Penelitian berupa penelusuran jejak sejarah, dengan cara mengunjungi tiap tiap wilayah yang pernah disebutkan di dalam suatu kejadian penting. Yang berkaitan dengan berita atau kabar sepak terjang Jaka Tingkir. Penelusuran melalui data, atau  dokumen, atau catatan terpenting yang pernah di buat oleh salah satu pihak yang di sahkan. Dan pihak yang di maksud tidak menitik beratkan satu kejadian saja, tidak memojokan satu kejadian saja. Memang benar, temuan nisan periode Pajang ikut mewarnai makam kasepuhan yang berada di bukit cemara. Hanya berpegangan dengan sebutan obyek, dengan adanya temuan typologi nisan yang secara kebetulan, bukan berarti makam Jaka Tingkir penguasa Kasultanan Pajang berada di tempat ini. Memang, untuk sampai saat ini, kisah cerita keberadaan makam Jaka Tingkir masih simpang siur. Belum ada keputusan yang valid.

Tidak di pungkiri, ketika bencana itu terjadi, semua tidak bisa di jadikan acuan untuk perawatan. Karena, disitulah letak kebingungan masyarakat perihal komplek makam kasepuhan tersebut. Harus mulai dari mana, harus di jadikan seperti apa, dan harus berpedoman pada siapa. Yang jelas, kepedulian masyarakat terhadap Situs Makam Kasepuhan itu, hanya sebatas kemampuan yang umum saja. Yang paling penting bagi masyarakat, tidak pernah merubah, dan tidak pernah bercerita tentang apa yang belum di ketahuinya. Setelah melakukan pengamatan, tentang typologi nisan yang berada di komplek Makam Kasepuhan Punden Tingkir. Dengan pengamatan tentang kontur tanahnya, tata letak makam, konsep bangunan makam, di komplek makam ini tidak mungkin kalau periode itu berakhir hanya sampai ke kasultanan Pajang saja. Buktinya, typologi tembayat periode Pakubuwono 1800 an awal, ikut menghiasi keberadaan komplek makam ini. Itu artinya, konsep penataan makam sudah tersetruktural mulai dari periode tua sampai ke periode muda. Jika memang komplek makam itu lengkap, konsep pemakaman lama memberikan pernyataan dengan sistematis dalam penataannya. Penempatan yang sudah terkonsep dari awalnya, makam yang berada paling puncak, dari Periode Kasultanan Demak. Untuk teras ke dua dari puncak, ada komplek makam kasepuhan Kasultanan Pajang. Untuk penempatan komplek makam kasepuhan berikutnya, teras ke tiga dari puncak, komplek makam kasepuhan dari Kasultanan Mataram Islam Awal. Teras ke empat dari puncak, berjajar komplek makam kasepuhan Mataram Islam Periode Sultan Agung. Teras ke lima dari puncak, komplek makam kasepuhan periode Mataram Islam Amangkurat. Dan teras ke enam dari puncak, ada komplek makam kasepuhan Kasunanan Pakubuwono periode 1800 an awal. Bisa juga di isi secara berjajar komplek makam yang memiliki langgam Kasultanan Jogjakarta, atau Langgam Hamengkubuwana.

Akan tetapi, nisan nisan yang bermunculan di komplek makam kasepuhan Punden Tingkir hanya menunjukan Typologi nisan Kasultanan Demak, masa transisi Kasultanan Demak ke Kasultanan Pajang, nisan periode keemasan Kasultanan Pajang, dan typologi nisan tembayat periode Pakubuwono 1800an awal. Jadi pada intinya, atau pokok dasarnya, Punden Tingkir adalah Komplek Makam Kasepuhan Periode Kasultanan Demak, Pajang, dan Kasunanan Pakubuwono. 

Semoga nisan nisan yang lain di permudah untuk penemuannya. Beliau adalah Pak Tomo, yang merawat Komplek Makam Kasepuhan Punden Tingkir, sejak tahun 1990 an hingga sampai saat ini.
 

Nisan Langgam Demak, Terjepit Akar Pohon Beringin


Nisan Langgam Pajang yang Terbalik


Nisan Langgam Pajang
Nisan Langgam Tembayat, Periode Pakubuwono
 
Nisan Langga Demak

Kumpulan Nisan dan jirat, yang di temukan ulang

Nisan periode Pajang



Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU LUMPANG DAN UNFINIS YONI KENDALI SODO

SITUS CANDI DI MAKAM WALIULLOH KHASAN MUNADI

MAKAM WALIULLOH SYECH SUDJONO DAN KE DUA SAHABATNYA