" NISAN NISAN PERIODE PANTURA, DI KOMPLEK MAKAM KASEPUHAN KYAI AGENG GIRIKUSUMO "
 |
Gapura Komplek Makam Mbah Hadi Girikusumo |
Letaknya berada di Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak. Terdapat komplek makam kasepuhan yang berada di sebuah puncak bukit kecil, dengan ketinggian kurang lebih hanya 15 meter diatas permukaan laut. Dalam Peta terbitan belanda tahun 1909, sampai dengan tahun 1940, tempat atau Bukit yang di jadikan pusara Kyai Ageng Girikusumo memiliki toponimi dengan sebutan Gunung Barang, atau Gunung Mbarang. Administrasi wilayah ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Semarang. Sebelah barat Desa Banyumeneng, terdapat tapal batas yang menjadi pembagi antar dua Wilayah setingkat Kecamatan sampai setingkat Kabupaten. Diantaranya adalah, Dusun Karangkumpul, Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak. Berada di sebelah timur tapal Batas Wilayah. Sedangkan yang berada di sisi barat tapal batas wilayah terdapat Dusun Watupawon, Desa Kawengen, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang. Wilayah kecamatan Mranggen, khususnya di Desa Banyumeneng, di dominasi kontur tanah yang lapang dan Berbukit. Seolah lahan tersebut terbagi dengan sendirinya. Di mana kontur tanah yang lapang berada di sisi sebelah Utara Desa Banyumeneng. Dan di dominasi dengan lahan produktif pertanian seperti sawah dan tanaman Jagung. Sedangkan, disisi selatan Desa Banyumeneng, merupakan bentuk kontur tanah yang berbukit, dan didominasi lahan perhutani dengan tanaman batang keras Jenis Mahoni, Jati dan bambu kuning.
Jika membahas tentang wilayah satu ini, banyak sekali pokok bahasan yang bisa di kembangkan menurut kajian dengan penelitian kecil yang di lakukan. Bahasan tentang Cagar Alam, Bahasan Tentang Jejak sejarah, dan bahasan tentang Wisata Reliji. Wisata Cagar Alam menyuguhkan dengan berbagai pilihan, tentang kegiatan apa yang akan di lakukan. Dengan susur sungai misalnya, atau pendakian bukit untuk menikmati keindahan alam dari ketinggian. Dari kegiatan itu akan memiliki pengalaman baru dalam perihal melakukan kajian dan penelitian. Hasil dari analisa tersebut didokumentasi, dan dijadikan sebuah karya tulis yang menceritakan tentang situasi dan kondisi alam sekitar. Selain Berwisata Cagar Alam, kegiatan yang lain juga bisa di lakukan dengan istilah blusukan Jejak bersejarah. Didesa Banyumeneng juga menyuguhkan berbagai macam jejak bersejarah. Mulai dari zaman Prasejarah, yaitu, di mana orang belum mengenal tulisan, sampai jaman bersejarah, setelah orang mengenal tulisan. Jejak Prasejarah berupa tempat pemujaan yang berbentuk Punden Berundak. Di puncak Gunung Girikusumo lebih tepatnya, berada disisi selatan Desa Banyumeneng. Tempat tersebut sekarang menjadi wisata reliji dan ramai pengunjung untuk berziarah. Bahkan, para peziarah yang datang bukan dari daerah Mranggen saja. Melainkan, dari luar daerah seperti Jepara, Kudus, Pati dan Grobogan. Karena, di puncak Gunung Girikusumo terdapat Makam sosok Ulama sepuh yang di tuakan. Tokoh tersebut bernama Simbah Kyai Ibrahim atau lebih di kenal dengan sebutan Mbah Brohim. Selain Punden Berundak dan Makam Mbah Brohim, jika beruntung akan menemukan Fragmen Sarkofagus, susunan teras berbentuk punden, dan Dolmen.
Sedangkan untuk jejak jejak yang bersejarah lainnya, terdapat tinggalan dari masa kolonial Hindia Belanda seperti, Bangunan Bendungan dan Bekas Jalur Lori Pengangkut Tebu dan hasil Perhutani. Jalur lori tersebut dihubungkan sampai ke Stasiun Alas Tuo. Sisa bangunan yang masih kelihatan hingga sampai saat ini adalah, pemancang jembatan Reel Lori, yang berada di perlintasan Sungai Kedung Dolog.
Dalam peta terbitan belanda tahun 1909 sampai 1940. Nama Desa Banyumeneng sudah di sebutkan, dan sudah di tandai dengan simbol bulan sabit seperti, Makam Mbah Brohim, yang berada diatas Puncak Gunung Giri Kusumo. Komplek Bangunan Masjid Girikusumo, ditandai dengan simbul bulan sabit diatas kotak bujursangkar. Makam Simbah Kyai Hadi atau Komplek Makam Kasepuhan Girikusumo, di tandai dengan simbul Bulan Sabit. Komplek makam tersebut berada di sebuah perbukitan dengan sebutan Gunung Barang atau Mbarang. Tepatnya berada disisi sebelah utara bangunan Masjid. Itu artinya, ketiga obyek tersebut memang sudah ada sejak abad ke 20 awal. Atau, ketiga obyek tersebut sudah ada ketika peta belanda belum selesai di cetak. Dalam lingkup wilayah desa Banyumeneng, banyak sekali tempat yang memiliki kenangan bersejarah yang belum begitu banyak terexpost.
Disini, saya pribadi tidak akan membahas tentang sejarah perjalanan Mbah Kyai Hadi. Kehadiran atau sowan saya disini tidak lain untuk mengunjugi makam beliau, berziarah atau tawasul. Dan meminta ijin dengan cara Batiniah untuk mengembangkan pengetahuan di bidang pernisanan. Mempelajari tentang typologi pahatan batu nisan yang berada di Komplek Makam Kasepuhan Girikusumo. Di komplek makam ini ada yang menarik perhatian untuk di kupas. Tentang pahatan nisan salah satu tokoh perempuan dengan gelar dan namakan sebutan sebagai Kanjeng Raden Ayu Sekar Seti. Tokoh satu ini merupakan Puteri Dalem Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Mataram Islam yang ke III. Meneruskan masa kepemimpinan dari Ayahnya yang bergelar Sultan Agung Hanyokrowati atau Mas Jolang. Tokoh Perempuan yang di sebutkan, memiliki Suami bernama Raden Tejo Gading. Benarkah keterangan diatas memiliki persamaan periode, antara kehidupan tokoh dan pahatan nisannya. Pembacaan Typologi nisan yang akan menjawab dan memberikan keterangan dari sebuah kebenaran.
Mari Kita Kupas .. !!!
Keberadaan makam tokoh yang di sebutkan di atas, tepat di sisi sebelah timur bangunan Pendopo Makam Simbah Kyai Hadi. Kira kira, dari bangunan pendopo berjarak kurang lebih 70 meter. Di bawah rimbunan pohon bambu yang berdampingan langsung dengan bibir anak sungai yang memisahkan antara makam dan pekarangan warga. Di bangun dengan jirat sebagai pembatas makam, menggunakan material bahan cor. Bentuk pahatan nisan, dari makam tokoh yang di sebutkan sebagai Puteri Raja Mataram Islam yang ke 3 adalah Gadha. Tokoh yang memiliki nama dan gelar di sebutankan sebagai Kanjeng Raden Ayu Sekar Seti. Kedua nisan memiliki jarak kisaran 2 meter, antara nisan bagian kepala dan nisan bagian kaki. Memberikan keterangan bahwa, nisan tersebut memiliki langgam Pantura Periode 1900 an awal. Jika memang benar, Makam tokoh yang di maksud adalah Puteri dari Raja Mataram Islam yang ke tiga. Seharusnya, letak pusara sosok tokoh Pembesar Mataram berada di bagian tengah komplek makam. Yang pastinya di makamkan pada bidang tanah dengan dataran yang lebih tinggi jika di banding dengan makam yang lainnya. Dan pastinya di jadikan tokoh utama dalam komplek pemakaman Kasepuhan Girikusumo. Perihal demikian sudah terkonsep sistem pemakaman mengikuti dari Kerajaan Mataram Islam. Untuk mengikuti periodenya, nisan yang dipakai tidak menggunakan nisan dengan Pahatan Gadha langgam pantura periode 1900 an awal. Seharusnya, pahatan nisan tetap mengikuti nisan nisan Mataram Islam Sultan Agung Hanyokrokusumo periode 1600 an. Jadi tidak sembarangan dengan asal asal memakai nisan. Harus di terapkan sesuai dengan masa kehidupannya kala itu.
Contoh Nisan yang seharus di pergunakan dengan Pahatan seperti ini
Jika Tokoh yang di makamkan Laki laki, nisannya seperti ini
 |
Nisan Periode Sultan Agung Hanyokrokusumo |
 |
Nisan Periode Sultan Agung Hanyokrokusumo
Jika Tokoh yang di makamkan Perempuan, nisannya seperti ini |
 |
Nisan Mataram Awal dengan Keterangan Untuk tokoh Wanita |
 |
Nisan Mataram Awal dengan Keterangan Untuk tokoh Wanita
Mungkin ada pertanyaan, Apakah Nisan Kanjeng Raden Ayu Sekar Seti pernah di rubah, atau digantikan diabad 20 an. Ketika nisan yang aslinya rusak, atau Patah.
Mari Kita jawab sesuai Fakta
Jika memang benar Nisan tokoh tersebut pernah rusak, dan digantikan dengan nisan Gadha, dengan Mengikuti periode saat menggantinya, itu sangat tidak mungkin terjadi. Dan tidak mungkin dilakukan pergantian nisan dengan periode yang lebih muda. Jadi, ketika mengalami kerusakan pada nisan tokoh Pembesar Mataram Islam, yang notabenya Seorang Puteri Raja. Ketika terjadi pergantian nisan karena rusak, maka akan di buatkan sama persis dengan pahatan nisan yang aslinya, tetap sesuai dengan pahatan nisan yang dijadikan identitas dari keasliannya. Masih di ikut sertakan identitas periode Mataram Islam Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Jika memang benar itu terjadi, Nisan Periode Sultan Agung Hanyokrokusumo tahun 1600 an, di ganti dengan nisan Pahatan Gadha, langgam Pantura periode 1900 an awal. Pertanyaannya, apa bedanya dengan merubah Sejara .. ??? Karena, nisan adalah prasasti yang memberikan keterangan tokoh yang di makamkan. Dari nasab keilmuan, gelar dan jabatan tokoh yang di makamkan
|
 |
Pintu Gerbang, atau Gapura Utama Makam Kasepuhan Kyai Ageng Girikusumo
|
 |
Peta Terbitan Belanda tahun 1940
|
 |
Peta Terbitan Belanda tagun 1940
|
 |
Peta Terbitan Belanda tahun 1940 |
 |
Peta Terbitan Belanda Tahun 1909 |
Laduni.ID, Jakarta - Syekh Hasan Muhibat atau Ki Ageng Giri atau KH. Muhammad Hadi merupakan putra dari Mbah Tohir bin Shodiq bin Ghozali Klaten. Mbah Hadi Girikusumo dipercaya sebagai sesepuh yang menandai awal dakwahnya dengan mendirikan Masjid Baitussalam yang kini berada di lingkup Pondok Pesantren beliau masih bergaris keturunan wali yaitu bertalian darah keturunan Sunan Pandanaran I (Semarang) dan Sunan Tembayat (Klaten).
KH. Muhammad Hadi merupakan seorang Mursyid Thariqoh Naqsabandiyah Khalidiyah dari Demak. Pondok Pesantren yang beliau didirikan pada tahun 1288 H bertepatan dengan tahun 1868 M. Pondok pesantren yang kini telah berusia ratusan tahun ini merupakan perwujudan gagasan Syekh Muhammad Hadi untuk membangun sebuah Lembaga Pendidikan yang menangani pendidikan akhlak (tasawuf) dan ilmu agama di tengan-tengah masyarakat.
Syekh Hasan Muhibat atau KH. Muhammad Hadi Girikusumo merupakan sosok seorang yang religius, beliau memiliki peran yang amat besar dalam penyebaran agama Islam di daerah Girikusumo. Sedangkan nama Girikusumo sendiri konon berasal dari kata Giri dan Kusumo, yang artinya gunung (Giri) dan kembang (Kusumo).
Profil
Syekh Hasan Muhibat atau Ki Ageng Giri atau KH. Muhammad Hadi merupakan putra dari Mbah Tohir bin Shodiq bin Ghozali Klaten. Nama beliau adalah Syekh Muhammad Hadi bin Thohir bin Shodiq bin Ghozali bin Abu Wasidan bin Abdul Karim bin Abdurrasyid bin Syaifudin Tsani (Kyai Ageng Pandanaran II) bin Syaifudin Awwal (Kyai Ageng Pandanaran I), beliau seorang yang santun dan cerdas.
Lokasi Makam
Makam KH. Muhammad Hadi berada di Komplek Pemakaman Makam Kasepuhan Girikusumo, Dukuh Girikusumo, Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, tidak jauh dari Pesantren Girikusumo.
 |
Gapura Komplek Makam Mbah Hadi Girikusumo |
 |
Akses Pintu Gapura Utama menuju ke Komplek Makam |
 |
Bangunan Cungkup Makam Simbah Kyai Hadi
|
 |
Komplek Makam Kasepuhan Girikusumo
|
 |
Nisan Gadha Langgam Pantura, Periode 1900 an awal
|
 |
Bangunan Cungkup Makam Simbah Kyai Hadi
|
 |
Bangunan Cungkup Makam Simbah Kyai Hadi
|
 |
Nisan Gadha Langgam Pantura, Periode 1900 an awal |
 |
Bangunan Cungkup Makam, Simbah Kyai Hadi
|
 |
Bangunan Cungkup Makam Simbah Kyai Hadi
Sekali lagi, di sini saya tidak membahas tentang sejarah kehidupan dari Simbah Kyai Hadi. Jika di pertanyakan, apakah tidak tertarik untuk mengulas sejarah Beliau. Soal tertarik dan tidaknya, saya sangat tertarik sekali untuk mengulas sejarah awal perjalanan sejarah beliau. Akan tetapi, tidak akan mungkin itu terjadi. Kenapa, karena setiap prifasi tokoh tersebut ada yang tidak menginginkan untuk di publikasikan, dan di sampaikan ke khalayak ramai. Jika muncul pertanyaan lagi, tentang bagai mana langgam nisan beliau. Apakah tidak ada keinginan untuk mengkajinya, atau membaca typologi nisan beliau. Jawaban saya hanya satu, berat, sulit, dan itu tidak akan mungkin terjadi. Kembali lagi ke perlindungan Prifasi sang tokoh.
Setelah mengadakan penelusuran di komplek Makam Kasepuhan Girikusumo, untuk membaca Typologi langgam nisan. Secara keseluruhan, nisan nisan di komplek makam tersebut di dominasi pahatan gadha, langgam Pantura, Periode 1900 an awal. Hampir tidak ada nisan nisan dengan Langgam Pakubuwono periode 1800 an awal. Nisan dengan pahatan demikian, diseputaran wilayah jalur pantura sangat mudah sekali di ketemukan. Entah itu di komplek makam umum, mau pun di komplek makam kasepuhan. Wilayah yang di dominasi dengan nisan pahatan demikian, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Batang. Nisan dengan pahatan Gadha, awal di produksi, atau populer pada tahun 1800 an awal. Memang, untuk perjalanan nisan ini tidak tidak sama dengan perjalanan Nisan langgam Bayat dan Langgam Adipati Unus. Kedua nisan tersebut populer sejak Periode kasultanan Demak sampai Periode abad ke 20 an. Beda dengan nisan pahatan Gadha, mulai populer dan bertahan dari tahun 1800 an awal sampai tahun 1900 an awal. Hanya bertahan kurang lebih 100 tahun saja. Karena, kemajuan zaman setiap daerah menciptakan dengan ciri khasnya masing masing.
|
Komentar
Posting Komentar