MAKAM SESEPUH DESA JAMBU

KITA MASIH DI WILAYAH KECAMATAN JAMBU, MENGUAK SISI MELIK MAKAM SESEPUH DESA JAMBU








Pemandangan Pegunungan sebagai benteng pembatas wilayah, bersanding dengan hamparan luasnya area persawahan. Seolah olah memberikan isyarat di balik keindahan yang ada pada dirinya. Tersimpan sebuah rahasia, yang menjadikan tanda tanyanbesar untuk sebuah pertanyaan. Sebenarnya ada misteri apakah di wilayah ini. Ketika misteri atau rahasia harus dimunculkan, ketika itu pula, rahasia itu harus di buk. Supaya kita tau, dari mana diri kita bisa atau lebih mengenali jati diri bangsa yang besar, berwibawa dan megah ini. Sudah selayaknya, tabir itu di buka secara gamblang dan terang terangan. Dan hukum dari sebuah kewajib adalah, untuk di perkenalkan. Tentunya dengan penyampaian yang bijaksana. Tidak mungkin, ketika suatu keindahan yang di agungksn, di puji, tidak menyimpan sebuah rahasia. Sebuah tempat memang memiliki keanekaragaman tentang kearifan lokal yang berada di wilayahnya. Apa lagi, kearifan lokal itu masih bertahan hingga sampai sekarang. Jadi tidak mungkin, jika sebuah wilayah tidak menyimpan sebuah rahasia di dalamnya. Yang jelas dan pastinya, tersimpan misteri yang sekiranya wajib untuk di bahas dan perlu untuk di ketahui. Supaya menambah informasi pengetahuan tentang suatu kejadian bersejarah. Yang pernah terjadi, tercetak, tercipta di wilayah ini.

Ketika mendapati suatu wilayah yang masih menyimpan berbagai macam kearifan lokal, keindahan alam, dan masih terciptanya kelestarian pada lingkungannya. Tidak mungkin wikayah tersebut, tidak memiliki pendorong dan pendukung untuk melakukan tindakan itu. Yang jelas, pendorong dan pendukungnya adalah, leluhur pendahulunya yang selalu memberikan pesan moral lewat perbuatan yang menjadi sumber cerita, jejak sejarah, yang menjadi sebuah warisan yang harus di jaga.

Ketertarikan kita untuk blusukan atau mengunjungi wilayah Kecamatan Jambu sudah tak terhitung berapa kalinya.  Blusukan kita hanya sebatas di seputaran Gunung Kelir saja. Karena, terlalu seringnya mendapatkan informasi yang berkembang lewat cerita rakyat, yang di sampaikan lewat mulut ke mulut, hingga di terima oleh si pendengarnya. Jauh mata memandang hanya sebatas untuk mencari jati diri bangsa saja. Dengan keanekaragaman kearifan lokal yang berada di seputaran lereng Gunung Kelir untuk menambah amunisi pentingnya tentang informadi. Beberapa titik wilayah yang kita kunjungi, memang sudah terbukti tentang rahasia  dibalik ke indahan alam di Kecamatan Jambu. Berupa jejak jejak peradaban masa Klasic, atau jejak dari peradaban hindu kuno kala itu, berupa reruntuhan bangunan Candi. Jejak kolonial, dan jejak Perang Kemerdekaan. Kali ini, ada sebuah rahasia, yang sebenarnya sudah tidak dirahasiakan lagi. Bahkan, sudah menjadi umum karena, harus di buka tabirnya supaya kita mau mempelajari, menekuni dengan pemahaman, mengilhami tentang betapa besar dan agungnya karya karya leluhur kita. Hingga jiwa jiwanya bersemayam tanpa terlihat, namun wibawa yang terpancar begitu sempurna.

Setelah mendapatkan informasi dari salah satu teman yang kebetulan, sama sama menyukai tentang situs bersejarah. Sama sama memiliki hobi blusukan ke obyek yang bersejarah seperti, jejak peradaban Hindu Buddha, berupa reruntuhan bangunan Candi, Jejak jejak peradaban Islam, berupa makam makam Kasepuhan, Jejak kolonial seperti, bangunan Rumah peninggalan belanda, Stasiun Kereta Api, dan obyek peninggalan kolonial belanda yang lainnya. Terhingga sampai jejak Perang Kemerdekaan 1945. Seringnya, kita mendapatkan kabar berita, tentang keberadaan reruntuhan bangunan candi. Namun untuk kali ini, kabar itu memberikan keterangan tentang keberadaan makam kasepuhan yang di Desa Jambu, Kecamatan Jambu.

Masih seperti biasanya, ketika mengadakan blusukan ke suatu wilayah, yang secara kebetulan memiliki jejak yang memiliki sejarahnya, saya tidak melakukan perjalan sendirian. Jelasnya, saya tetap mengajak teman yang benar benar memiliki hobi dan kesibukan yang sama. Tapi sebenarnya, saya pribadi menginginkan, dari golongan apa pun, siapa pun, yang menghendaki kegiatan ini, dengan senang hati, kami akan mempersilahkan untuk ikut atau gabung di acara ini. Karena, menurut saya pribadi, lebih banyak yang ikut, akan lebih ramai dan lebih panjang pokok inti bahasannya. Mengenahi, obyek bersejarah yang kita kunjungi. Sejauh ini, saya seringnya melakukan kegiatan blusukan hanya 2 orang saja. Belum pernah lebih dari 3, 4, dan seterusnya. Maka dari itu, blusukan kami hanya singkat, dan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Mungkin, tidak lebih dalam waktu 1 hari, bisa terhitung penyesuaian waktu, paling hanya setengah hari saja. Dan kegiatan blusukan kita bisa mencapai 3 situs, itu pun tidak ada pokok bahasan yang sangat serius. Kita melakukan blusukan, atau mengunjungi jejak bersejarah, dengan wilayah yang berbeda beda. Tidak cuma satu wilayah saja, terkecuali, satu wilayah itu memang ramai akan keberadaan jejak sejarahnya.

Pagi itu menjelang, serangkaian agenda blusukan sudah kita susun sebelumnya. Kami berdua memutuskan, dan bergegas untuk melakukan kunjungan atau blusukan ke wilayah yang sudah di tentukan. Bahkan secara kebetulan, kita berdua memiliki jadwal libur kerja di hari yang sama. Sama sama memiliki luang waktu yang bisa di bilang tidak terlalu lama. Melanjutkan tentang informasi yang saya terima, obyek berupa makam itu berada di samping Jalan penghubung antar kedua wilayah. Yaitu, Kabupaten Semarang dengan Kabupaten Magelang. Setelah kita kunjungi atau kita sambangi wilayah tersebut. Kita di bertemu langsung dengan salah satu tokoh yang termasuk di sepuhkan atau di tuakan di desa tersebut. Beliau bernama Pak Bapak Wono, salah seorang tokoh yang memiliki ketertarikan tentang situs situs bersejarah, dan mengembangkan kearifan lokal Nusantara di daerahnya berupa tarian daerah. 

Setelah menyambangi Pak Wono, tanpa berlama lama kita langsung menuju ke lokasi, di mana makam tokoh yang di sepuhkan itu berada. Makam itu ada dua pusara yang bertempat di sisi pojok paling timur. Identitas tokoh di sebutkan dengan menyadang Gelar Sosok Kyai dengan Predikat Ulama. Bernama Kyai Kalek, beliau adalah seorang tokoh Guru Ngaji Al qur'an. Dan Mbah Kendi Wiri merupakan sosok tokoh masyarakat yang di sepuhkan. Memang jika kita perhatikan, kedua makam tersebut memiliki perbedaan dari segi bangunan makam maupun segi Pahatan Nisannyaa. Akan tetapi memiliki sepak terjang di periode yang hampir bersamaan. Periode 1800an akhir dan periode 1900 an awal. Setelah di pelajari dari pahatan Jirat makam, pahatan nisan, konsep penataan makam, dan kontur tanah yang berteras. Akhirnya menemukan titik terang yang menyatakan bahwa, makam Mbah Kyai Kalek memiliki Langgam Tembayat, dengan periode Angka tahun awal tahun 1900 an. Sedangkan makam Mbah Kendi Wiri, hanya sebatas pahatan nisan dengan lapik penyangga berdirinya nisan. Tanpa bangunan jirat yang tersusun dari panel yang di tentukan.

Walau pun kedua makam tersebut memiliki perbedaan yabg sudah saya sebutkan. Walau pun, kedua makam tersebut, juga memiliki perbedaan usia dari tingkatan bangunan makam. Ketika di bahas, langgam Tembayatlah atau makam Mbah Kyai Kalek_lah, yang memiliki argumentasi pokok bahasan lumayan cukup Panjang. Jika di bahas mulai dari Langgam Tembayat awal sampai langgam tembayat Periode 1900 an awal. Sebenarnya, untuk konsep bangunan makam Langgam Tembayat memiliki kesamaan, dari pepunden awal hingga periode masa akhir Langgam Tembayat berhenti berkembang. Yang menjadi pembanding hanya besar dan kecilnya bangunan. Semakin besar, semakin tinggi, semakin lebar dari konstruksi bangunannya, maka semakin tua pula usia bangunan tersebut. Semakin tebal, semakin besar, semakin tinggi pahatan nisan, semakin tua usia dari periode angka tahunnya. Ukiran pada bangunan jirat makam, dan ukiran yang terdapat pada pahatan nisan. Semakin memberikan kesan yang artistik. Penuh makna, dan selalu memenuhi ruang kosong pada media terpahat. Banyak ukiran ukiran dengan pahatan tapak dara dan ornamen hiasan berbentuk Flowra. Dari periode Langgam tembayat awal, Periode Mataram Islam Awal, Periode Mataram Islam Sultan Agung Hanyokrokusumo, Periode Mataram Islam Amangkurat, Periode masa peralihan, Akhir Mataram Amangkurat, awal Pakubuwono, hingga periode jaman Kolonial 1900 an. Semakin tua semakin besar bangunannya, sedangkan semakin muda, semakin kecil bangunan makamnya. Walau pun, jenis material yang di pergunakan untuk Langgam tembayat itu sama. Semakin muda dari Langgam Tembayat, semakin sederhana konsep bangunan makamnya. Semakin sederhana Pahatan Nisannya, hampir tidak memiliki pahatan dengan model atau bentuk 3D. Tanpa hiasan sebagai ornamen penghias bangunan makam.

Begitu sangat panjangnya perjalanan pahatan dari langgam Nisan Tembayat. Tanpa merubah konsep jati diri dari pepundennya. Beda dengan nisan nisan periode Mataraman, ketika pergantian pemimpin dengan periode masa yang berbeda. Pahatan nisan selalu mengikuti perkembangan di jamannya. Walau pun sama sama semakin muda, pahatan dari ornamen bidang hias, semakin sepi atau semakin sangat sederhana.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU LUMPANG DAN UNFINIS YONI KENDALI SODO

MAKAM WALIULLOH SYECH SUDJONO DAN KE DUA SAHABATNYA

SITUS CANDI DI MAKAM WALIULLOH KHASAN MUNADI