PANGERAN MANGKU BUMI SUSUHAN PANDAN ARAN

" SUNAN TEMBAYAT, PANGERAN MANGKU BHUMI SUSUHAN PADANG ARANG "

Makam Sunan Tembayat

Makam Sunan Tembayat di desa Paseban, Bayat, Klaten, hingga kini menjadi tempat ziarah yang penting bagi banyak orang. Makam ini tidak hanya menjadi simbol penghormatan kepada Sunan Tembayat tetapi juga menjadi tempat yang sakral bagi para peziarah yang mencari berkah dan spiritualitas.  Pemugaran makam yang dilakukan oleh Sultan Agung pada tahun 1633, setelah ziarahnya ke makam tersebut, menunjukkan betapa pentingnya peran Sunan Tembayat dalam sejarah dan budaya Jawa. Ziarah Sultan Agung ke Makam Sunan Tembayat bukanlah sekadar ziarah biasa, melainkan sebuah peristiwa yang sangat dimungkinkan memiliki kaitan erat dengan kegagalan dua kali serangan Mataram ke Batavia. Sebagai raja dan panglima perang yang mahir, Sultan Agung berhasil membangun dan mengonsolidasikan Mataram menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar.

Salah satu upaya terbesar Sultan Agung adalah penyerbuan ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629, bertujuan untuk mengusir VOC dari Jawa dan menjadikan Batavia sebagai pangkalan militer. Hubungan antara Mataram dan VOC dimulai pada tahun 1621, namun memburuk setelah VOC menolak membantu Mataram dalam serangannya ke Surabaya. Penolakan ini memicu serangan besar Sultan Agung ke Batavia. Serangan pertama pada 22 Agustus 1628 melibatkan 59 perahu dan 900 prajurit di bawah Tumenggung Bahureksa dari Kendal. Gelombang kedua terjadi pada 3 Desember 1628 dengan tentara Mataram yang lebih besar. Meskipun gagal mengusir VOC, upaya ini menjadi episode penting dalam sejarah perjuangan Mataram melawan kolonialisme. Setelah kegagalan dua kali serangan ke Batavia, Sultan Agung melakukan perjalanan spiritual ke tempat keramat di Tembayat dengan tujuan ‘ngalap berkah’ dan membawa sajen. Meski dalam Islam tidak ada tradisi sajen, tindakan Sultan Agung ini mungkin dimaksudkan untuk memperoleh berkah dari almarhum yang dihormati, yaitu Sunan Tembayat. Dalam surat bertanggal 3 Juni 1633, Pieter Franssen menyebut kunjungan tersebut sebagai feitico, sebuah istilah Portugis yang berarti sihir. Hal ini mungkin disebabkan oleh pandangan masyarakat Tembayat yang lebih mendukung kerajaan Pajang, pendahulu Mataram, dan kemudian berbalik melawan Dinasti Mataram setelah kegagalan ekspedisi ke Batavia.  Oleh karena itu, Sultan Agung merasa perlu mendamaikan kekuatan spiritual di Tembayat dengan Dinasti Mataram melalui pendekatan yang sungguh-sungguh.

Kunjungan ziarah ke desa keramat tersebut merupakan peristiwa langka bagi perwakilan Dinasti Mataram, terutama karena pada zaman itu, Sunan Tembayat tidak begitu disukai di kalangan istana Mataram. Makam Sunan Tembayat lebih sering didekati oleh rakyat kecil, pedagang, dan perajin yang mengharapkan perbaikan nasib mereka. Oleh karena itu, ziarah Sultan Agung ke makam ini pasti menjadi suatu pengorbanan harga diri yang besar, dilakukan hanya dalam keadaan terpaksa. Melalui ziarah ini, Sultan Agung mungkin berusaha untuk memperkuat hubungan spiritual dengan Sunan Tembayat dan mengatasi perpecahan yang terjadi antara pendukung Pajang dan Dinasti Mataram. Langkah ini menunjukkan bagaimana Sultan Agung mencoba menyatukan kembali kekuatan-kekuatan yang ada untuk memperkokoh kekuasaan dan pengaruhnya di Jawa. Ziarah ini tidak hanya berfungsi sebagai tindakan spiritual tetapi juga sebagai strategi politik yang cermat untuk memperkuat legitimasi dan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat. Sultan Agung, dengan segala kebesaran dan kebijaksanaannya, memahami pentingnya dukungan spiritual dalam memperkuat kekuasaan politiknya, dan kunjungan ini menjadi bukti nyata dari usahanya untuk mencapai tujuan tersebut. Sepulang dari kunjungan tersebut, Sultan Agung memerintahkan pemugaran besar-besaran terhadap makam dan masjid Sunan Tembayat. Kompleks ini terletak di atas bukit Jabalkat, yang terkenal dengan ratusan anak tangganya. Perintah Sultan Agung mencakup pembaruan struktur makam dan masjid, sehingga memberikan penghormatan yang layak bagi seorang tokoh penting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa. Pembangunan ini dimulai dengan sebuah gapura megah yang dilengkapi dengan candra sengkala Wisaya Anata Wisiking Ratu. Pada bilah-bilah kayu gapura tersebut tercatat waktu-waktu Raja berguru, yang menunjukkan tahun 1555 J atau bertepatan dengan 8 Juli 1633. 

Di sisi lain gapura, terdapat tanggal-tanggal penting yaitu 18-19 September dan 12-13 Oktober 1633, yang menunjukkan bahwa gapura tersebut mulai atau selesai dibangun beberapa bulan setelah keputusan pembangunannya diambil. Selain gapura, Sultan Agung juga memerintahkan pembangunan sebuah pendopo kecil. Pendopo ini, menurut cerita setempat, dibangun sebagai tempat bersantap bagi sang Raja. Pendopo ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat istirahat, tetapi juga menjadi simbol penghormatan dan kedekatan spiritual Sultan Agung dengan Sunan Tembayat.  Pembangunan pendopo dan gapura ini menunjukkan perhatian Sultan Agung terhadap detail dan keagungan arsitektur, serta keinginannya untuk memastikan bahwa makam Sunan Tembayat dihormati dengan layak. Selanjutnya, terdapat laporan yang mendetail mengenai usaha-usaha untuk memperindah makam di Tembayat. Patih Singaranu, yang merupakan salah satu pejabat terkemuka di kerajaan, diberi tugas yang sangat penting yaitu memugar makam keramat Sunan Tembayat. 

Dalam pelaksanaannya, batu-batu yang digunakan untuk memperindah makam tersebut tidak boleh diangkut dengan kuda seperti biasanya, melainkan harus disampaikan oleh orang-orang yang dianggap pantas untuk melakukan tugas tersebut. Mereka dengan penuh khidmat duduk bersila dalam deretan panjang, mengangkat dan menyampaikan batu-batu tersebut secara bergantian. Bahkan, jika diperlukan, hingga 300.000 orang dikerahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Seluruh kegiatan ini diawasi secara ketat oleh patih beserta para nayaka di Bayat dan Panembahan Purbaya di Mataram, memastikan bahwa setiap langkah dalam pemugaran makam berjalan sesuai dengan rencana. Hasil dari usaha ini sungguh memukau, dengan makam yang menjadi semakin megah dan mempesona. Kedaton, atau bangunan utama di sekitar makam, tampak begitu agung, sedangkan di kedua sisinya, terdapat beberapa paseban yang memberikan kesan yang sangat anggun dan indah.  Pintu-pintu gerbang kecil berdiri berurutan, menjulang dengan kokoh dari depan hingga ke belakang, memberikan suasana yang begitu megah dan bersejarah. Tidak hanya itu, tembok yang melingkari area tersebut dibangun dengan menggunakan batu-batu yang kokoh dan tahan lama, sedangkan di lapangan depan, berbagai jenis tanaman yang dipelihara dalam pot-pot turut menghiasi area tersebut, menambah keindahan dan kesegaran alam.

Keseluruhan usaha untuk memperindah makam di Tembayat ini tidak hanya menciptakan sebuah tempat yang memukau secara visual, tetapi juga memberikan makna yang mendalam bagi masyarakat setempat dan bagi mereka yang mengunjunginya. Hal ini merupakan bukti nyata dari komitmen Sultan Agung dalam melestarikan dan memuliakan warisan budaya serta spiritualitas yang ada di Jawa. Proses pembangunan ini tidak dilakukan dengan sembarangan. Setiap detail diperhatikan dengan seksama, mulai dari pemilihan material hingga penentuan hari-hari baik untuk memulai dan menyelesaikan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa Sultan Agung sangat menghormati tradisi dan kepercayaan lokal, serta memahami pentingnya makna spiritual dan historis dari makam Sunan Tembayat. Pembangunan makam Sunan Tembayat ini bukanlah proyek kecil. Sultan Agung mengerahkan ribuan orang untuk membangun makam Sunan Tembayat. Yang lebih menakjubkan, bahan baku berupa batu yang dikirim dari Mataram—saat itu kraton berlokasi di Kerta—tidak diangkut menggunakan kuda. Sebaliknya, Sultan Agung memerintahkan barisan manusia untuk duduk bersila dari Mataram hingga Tembayat, sepanjang lebih dari 40 kilometer. Batu-batu tersebut diteruskan dari tangan ke tangan, dalam barisan manusia yang tak terputus.

Keputusan Sultan Agung untuk melakukan pemugaran makam Sunan Tembayat juga sejalan dengan pembangunan Girilaya dan Imogiri pada tahun 1632. Ketiga lokasi ini dibangun dengan konsep pasareyan atau kompleks pemakaman di atas bukit. Bentuk arsitektur dan tata letak yang mirip menunjukkan adanya pola pikir dan kebijakan yang konsisten dalam memperlakukan tempat peristirahatan terakhir tokoh-tokoh penting dengan penghormatan tertinggi. Sunan Tembayat sendiri dikenal sebagai sosok yang berpengaruh dalam penyebaran Islam di wilayah Jawa bagian selatan. Setelah melepaskan jabatan adipati, ia hidup sebagai seorang ulama dan membimbing masyarakat dalam hal keagamaan dan moral.  Kisah hidupnya yang penuh dedikasi membuatnya dihormati dan dijadikan teladan oleh masyarakat setempat. Pemugaran makam dan masjidnya oleh Sultan Agung menjadi simbol penghormatan terhadap jasa-jasanya dalam menyebarkan agama Islam. Pembangunan makam Sunan Tembayat ini juga memperlihatkan bagaimana Sultan Agung menggunakan pendekatan yang mencerminkan perpaduan antara kekuatan spiritual dan politik.  Dengan merestorasi makam tokoh-tokoh spiritual penting, Sultan Agung tidak hanya memperkuat legitimasi kekuasaannya tetapi juga mempererat ikatan dengan rakyatnya melalui penghormatan terhadap tradisi dan sejarah. Ribuan orang yang terlibat dalam pemugaran ini menunjukkan betapa besar pengaruh dan otoritas Sultan Agung dalam memobilisasi masyarakat untuk proyek-proyek besar kerajaan. Hal ini juga menjadi bukti dari kekuatan sosial dan budaya yang dimiliki oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Pemugaran makam Sunan Tembayat oleh Sultan Agung pada tahun 1633 menjadi bagian penting dari sejarah Mataram Islam. Tidak hanya mencerminkan penghormatan terhadap tokoh spiritual besar, tetapi juga menunjukkan bagaimana kekuatan politik, spiritual, dan budaya berinteraksi dalam membangun sebuah peradaban yang kaya akan warisan sejarah. Ziarah dan pemugaran ini mengukuhkan posisi Sultan Agung sebagai raja yang tidak hanya kuat dalam militer tetapi juga bijaksana dalam menghormati tradisi dan nilai-nilai spiritual. Setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan tersebut, Sultan Agung kemudian dikenal sebagai seorang Raja yang sangat termasyhur, bukan hanya karena wibawanya yang semakin kuat, tetapi juga karena kemampuannya yang luar biasa dalam mengatasi tantangan dan memimpin dengan bijaksana.  Kabar pun tersebar luas bahwa Sultan Agung memiliki keistimewaan luar biasa, yaitu kemampuan untuk bersembahyang Jumat di Mekah dekat Ka'bah. Keistimewaan ini tidak hanya menjadi bukti nyata dari kedalaman spiritualitas Sultan Agung, tetapi juga menggambarkan sejauh mana kemampuan dan kebesarannya sebagai seorang Raja telah meningkat, menjadikannya sebagai sosok yang sangat dihormati dan diakui baik di dalam maupun di luar wilayah kekuasaannya. Kegagalan dua kali serangan ke Batavia tetap mengukuhkan posisi Sultan Agung sebagai raja terbesar Dinasti Mataram Islam.

Gapura Segara Pamuncar I

Gapura Segara Pamuncar, arsitek gapura atau bangunan gapura ini hampir mirip dengan gapura candi bentar di jawatimuran, Mirip gapura pura di bali. Tidak di ubah sedikitpun unsur historinya. Masih dengan yg aslinya, bahkan di gapura pamuncar tercantum huruf jawa, kemungkinan menyatakan tahun pembuatan atau mungkin sebuah pesan Moral.

Tulisan Huruf Jawa

Tulisan huruf jawa ini terdapat pada bangunan gapura l segara pamuncar.
Kondisi tulisan ini sudah mulai agak aus.

Gapura Dudha Ke II

Gapura ke II ini di beri nama gapura dudha, berjarak sekitar 75 meter ke dalam setelah gapura Segara pamuncar pertama

Tangga Naik Ke Komplek Makam

Setelah dari gapura ke II, akan mendapati tantangan baru yaitu, menaiki anak tangga yg jumlahnya ratusan anak tangga, bayangkan saja, sepeti naik gunung. Akan tetapi semangat untuk mengetahui maqom leluhur terus menggebu. Setelah menaiki ratusan anak tangga, di area halaman komplek makam akan berjumpa dengan langgar kuno.
Langgar kuno

Konon ceritanya, bangunan ini yg pertama di dirikan sebelum pembangunan masjid Golo Tiban yg berada di kaki bukit Jabbal kat sekarang ini. Langgar atau mushola ini, arsitek langgar ini, hampir menyerupai majid Agung Demak, berbentuk joglo limas, dengan Mustoko atau molo masjid tepat berada di atas titik sumbu tengah bangunan. Terdapat dua buah bedug, namun beda usia, lebih tua bedug yg berwarna hijau, konon bedug tersebut buatan Sunan Tembayat beserta Murid muridnya.

 
Gapura Pangraton Ke III

Gapura tersebut berdiri kokoh di sebelah langgar, tepatnya di sebelah barat laut bangunan langgar. Gapura inilah, yang konon di lewati Ki sambang dalan atau Syech Domba saat mengambil air menggunakan keranjang, untuk mengisi gentong padasan tempat wudhu Sunan Tembayat, saat memenuhi syarat penggemblengan untuk menjadi muridnya Sunan Tembayat. Di antara gapura yg lain, Gapura Pangraton ini lebih besar dan lebih menarik, karena masih asli belum ada pengrehapan atau tambahan material, untuk menggati yg rusak atau hilang. Bangunan Gapura yg masih memiliki ciri khas bangunan Candi, Yaitu tempat pemujaan hindu kuno, bahkan ukiran atau relief masih sama dengan penghias bangunan candi

 
Gapura pangroton III

Relief atau ukiran yg terdapat pada bagian gapuro tersebut, terlihat Ukiran kaki naga yg siap mencengkeram mangsanya, tapi ukiran tersebut sudah rusak karena patah, hanya terlihat ukiran Kaki Naga saja. Selain relief atau ukiran kaki naga, dapat di jumpai lagi relief berukir hewan ternah, semacam hewan sapi.

Gapuro IV Panemut

Gapura panemut tersebut adalah gapura nomor IV, berada di dalam komplek makam para tokoh tokoh penting jaman dahulu. Sangat indah bukan, seperti gapura pura yg ada di bali.

Gapura Ke IV Panemut

Gapura pangemut IV berada tidak jauh dari pintu makam yg menuju ke komplek Makm, berjarak sekitar 75 meter dari gapura pangraton.

Gapura Panemut ke IV

Terdapat ukiran seperti makara pada bangunan Gapura di antara pipi tangga masuk, seperti hiasan pipi tangga candi. Bedanya,  kalau makara yg ini bergambar flora atau tumbuhan berbentuk sulur sulur. Seakan akan dari bentuk menyerupai antefiks seperti penghias selasar tepi bangunan candi, Fungsinya hanya sebagai penghias saja.

Gapura Pamuncar ke V

Bangunan Pamuncar ke V terlihat dari depan, masih aggun dengan bangunan pagar bumi yg mengelilingi makam.

Gapura Pamuncar Ke V

Bangunan Gapura Pamuncar V audah menggunakan banon ( Batu Bata Merah Kuno ), material ini lumayan cukup besar, tebal dan lebar, tidak sama dengan material gapura lainya yg masih menggunakan batu putih.
Tugu Mustoko

Mungkin Tugu ini adalah salah stu penanda atau semacam monumen untuk mengenang atau menghormati tokoh tokoh penting kala itu. Di ujung paling atas pada bangunan tugu terdapat seperti mahkota, namun sebenarnya itu adalah perangkat dari mustoko sebiah bangunan masjid. Dan di ujung paling bawah, masih terdapat ukiran kala.
Yaitu relief pada bangunan sebuah candi, yang berada di atas ambang pintu masuk ke ruangan candi, aplikasi bangunan Moslem in mataram.

Gapura Bale Kencur ke VI

Bangunan Gapura Bale Kencur, sudah menggunakan arsitek seperti bangunan mataram islam, seperti mirip benteng taman sari Djogja.

Gapura Praba Yeksa Ke VII

Sama Halnya bangunan Praba Yeksa yg menjadi bagian dari gapura ke VII, bangunan gapura tersebut sama dengan gapura bale kencur nomor VI, Arsitek bangunan seperti benteng atau pagar bumi yg mengelilingi bangunan keraton solo dan Djogja, bangunan gapura yg terakhir yg paling dekat dengan makam Sunan tembayat. Setelah melewati gapura praba yeksa, akan menemui palenggahan pakuncen, yg nantinya akan mengarahkan atau memberitahu makam makam siapa saja yg berada di dalam komplek. Dengan menaiki anak tangga lagi, untuk bisa masuk ke dalam makam Sunan Tembayat.

 
Gentong Sinogo

Gentong sinogo, adalah tinggalan dari Sunan Tembayat, gentong padasan tempat untuk berwudu atau sesuci saat akan melaksanakan Kewajiban suci. Menurut pakuncen, kenapa di beri nama gentong sinogo, Karena Mempunyai ukiran kepala Nogo atau Naga. Konon ceritanya, gentong sinogo, merupakan gentong yg di isi air menggunakan keranjang oleh Ki Sambang dalan atau Syech Domba, yg di ambil dari kaki bukit jabbal kat menuju puncak gunung jabbal kat, dalam tahap penggemblengan untuk tanda keseriusan beliau dalam menuntut ilmu Islam.

 
Ukiran Kala

Ukiran Kala ini terdapat pada gapura masuk koplek makam, berada di sisi kanan dan kiri pintu. Kala merupakan ukiran gambar Kepala buto, kalau dalam mitologi kepercayaan Hindu kuno, barang siapa tidak dapat melawan takdirnya apa bila sudah di tentukan, barang siapa yg memaksakan kehendaknya, maka dewa kala akan membinasakannya, Kala juga merupakan anak dari Dewa Siwa, yg wujudnya bukan seperti sosok dewa pada umumnya. Dengan parahupan Mata lebar dan bertaring, wajah menyeramkan. Kala berasal dari bahasa sansekerta yg berarti waktu. Kala juga di sebutkan sebagai Dewa Waktu, Dalam bangunan Candi, kala di berfungsi sebagai penyerap hawa jahat atau hawa hitam yg berada di dalam jiwa manusia, Saat akan melakukan pemujaan di dalam ruangan Candi.

Gapura Masuk komplek makam

Banyak Cara untuk mengingat sesepuh kita yg hidup di masa kuno.
Cukup mengetahui Nama dan keistimewaan dalam menyampaikan amanat yg di Syiarkan, Dengan jerih payah beliau beliau untuk di jadikan kenangan sebuah sedjarah.

Komplek Makam Tembayat berada di sebuah bukit Jabalkat yang terletak di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah dan berada pada ketinggian ±860 m di atas permukaan laut.

Berdasarkan babad dan cerita rakyat, tokoh utama yang dimakamkan di Komplek Makam Tembayat adalah Sunan Tembayat, penyebar agama Islam di daerah Bayat dan sekitarnya. Nama asli beliau adalah Ki Ageng Pandan Arang, seorang Adipati Semarang yang atas petunjuk Sunan Kalijaga meninggalkan kota Semarang untuk menuju ke daerah pegunungan bagian selatan dengan tujuan menyiarkan agama Islam.

Dalam perjalanan ke daerah selatan (Bayat dan sekitarnya) rombongan Ki Ageng Pandanarang dicegat oleh tiga orang penyamun. Salah seorang penyamun dikutuk menjadi manusia berkepala domba, setelah bertobat ia dibebaskan dari kutukan dan menjadi pengikut setia Ki Ageng Pandanarang. Peristiwa ini terjadi di daerah yang kemudian dinamakan Salatiga berdasar pada kata salah tiga yang artinya tiga orang bersalah. Setelah sampai dan menetap di Bayat, Ki Ageng Pandanarang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bayat atau Sunan Tembayat.

Sunan Tembayat hidup semasa dengan Sunan Kalijaga, yaitu salah seorang Wali Sanga yang menurut Babad Tanah Jawi termasuk pendiri Masjid Agung Demak. Berdasar sengkalan berupa seekor kura-kura yang dipahatkan pada dinding barat mihrab, Masjid Agung Demak didirikan pada tahun 1479. Sedangkan Sunan Kalijaga hidup semasa dengan Sunan Kudus yang dikenal sebagai pendiri Masjid Menara Kudus pada tahun 1549. Oleh karena itu Kompleks Makam Tembayat dibangun tidak jauh selisihnya dari masa pendirian Masjid Agung Demak dan Masjid Menara Kudus.

Beberapa prasasti berhuruf dan berbahasa Jawa Kuna yang ada di Kompleks Makam Tembayat memperkuat penafsiran tersebut. Prasasti yang dipahatkan di Gapura Segara Muncar yaitu gapura pertama yang ada di kaki bukit, berbunyi murti sarira jleging ratu yang bernilai tahun 1448 Saka atau 1526 Masehi. Sedangkan prasasti yang ada di Gapura Panemut bertuliskan wisaya hanata wisiking ratu yang bernilai tahun 1555 Saka. Pada sisi lain gapura tersebut terdapat tulisan Ita 1555 masa 4. Angka tahun ini bertepatan dengan tahun 1633 M yaitu masa Mataram Islam di bawah pemerintahan Sultan Agung. Babad Nitik Sultan Agung menerangkan bahwa Sultan Agung memiliki peran yang cukup besar dalam perbaikan kompleks makam, salah satunya pernah memerintahkan untuk memperbaiki makam Sunan Tembayat yang dimulai pada tahun 1620 Masehi.

Kompleks Makam Tembayat merupakan living monument, artinya sampai sekarang masih digunakan sebagai tempat ziarah dan pemakaman terutama trah Sunan Bayat. Dalam kompleks terdapat pula masjid makam yang relatif masih utuh dan digunakan hingga saat ini oleh para peziarah untuk beribadah. Selain bangunan kuna terapat pula bangunan baru baik berupa makam, bangsal maupun pintu masuk.

Kompleks Makam Tembayat terbagi atas enam halaman, masing-masing dipisahkan oleh tembok keliling dan pintu masuk. Cungkup makam Sunan Bayat terletak pada halaman terakhir yang merupakan  halaman tertinggi dan tersuci. Bagian-bagian yang dianggap kuna dari kompleks makam ini berturut-turut dari kaki sampai puncak bukit adalah:

  1. Gapura Segara Muncar yang berbentuk candi bentar.
  2. Gapura Dhudha berbentuk candi bentar. Disebut demikian karena pada saat ditemukan tinggal bagian kiri. Gapura ini dipugar pada tahun 1978.
  3. Gapura Pangrantunan berbentuk paduraksa tanpa pintu.
  4. Gapura Panemut berbentuk candi bentar.
  5. Gapura Pamuncar berbentuk candi bentar seperti Gapura Panemut.
  6. Gapura Bale Kencur berbentuk paduraksa berdaun pintu.
  7. Bangunan-bangunan makam keluarga dan pengikut Sunan Tembayat.
  8. Dua padasan bernama Kyai Naga.
  9. Bangunan cungkup dan makam Sunan Tembayat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU LUMPANG DAN UNFINIS YONI KENDALI SODO

SITUS CANDI DI MAKAM WALIULLOH KHASAN MUNADI

MAKAM WALIULLOH SYECH SUDJONO DAN KE DUA SAHABATNYA