JEJAK RUMAH SINDER PERKEBUNAN TLOGO

 ISTIMEWA, RUMAH DINAS SINDER PERKEBUNAN INI, MIRIP DENGAN BANGUNAN KERATON JOGJA

Awalnya, kita tidak punya tujuan untuk mengexplore bangunan ini. Tujuan awal kita adalah, mengulang kembali blusukan ke Desa Lembu, Kecamatan Bancak. Yang dulu, atau 4 tahun yang lalu, kita pernah mengadakan literasi sejarah bersama siswa dan siswi SD 01 Lembu. Ketika itu, kita mengenalkan situs cagar budaya yang menjadi Icon atau menjadi toponimi desa tersebut. Ceritanya, mengulang blusukan, dan mengingat memori kegiatan 4 tahun yang lalu. Sesampainya di Desa Tlogo, perjalanan ini terhenti, saat melintas di depan bangunan masa kolonial belanda yang sangat megah. Dengan pelataran yang sangat luas, lengkap dengan pepohonan dengan ciri kas pokok keras yang menghiasi halaman rumah tersebut. Lengkap pula dengan pagar bumi yang mengelilingi halaman dan bangunan rumah, dengan jeruji berulir berbahan dari material baja cor, terangkai rapi dan sejajar. Lengkap pula ketika pagar gerbang memiliki dua pintu yang terpasang di kanan kiri gapura. Keseluruhannya sudah menggambarkan rumah rumah mewah pada masa itu. Dengan ciri kas halaman luas, bentuk bangunan yang di terapkan memiliki dua perpaduan arsitekturnya, antara jawa dan eropa.








 Sangat terlihat oriental keindahan Exterior yang terpasang pada bagian luar bangunan rumah. Sangat istimewa, rumah ini memiliki dua teras dengan sistem tumpang tindih. Teras yang utama, lebih rendah jika di banding dengan teras yang kedua. Jadi, Atap teras ini terbagi menjadi dua bagian, atap teras utama dengan atap teras kedua. Tetap menjaga tradisi jawanya, seperti rangkaian kuda kuda pada bagian tepi atap teras di buat berbentuk segi tiga. Sama juga konstruksi kuda kuda pada bagian tepi atap bangunan utama, juga mengikuti bentuk dari pada teras utama dan ke dua. Berupa ornamen lisplang yang memiliki ciri kas adat jawa berupa pahatan belah ketupat. Berfungsi untuk menutupi bagian tepi atap bangunan. Jika kita telusuri dengan cara memutari bangunan rumah, ternyata komponen lisplang terpasang secara menyeluruh pada tiap sudut dan tepi bagian atapnya. Bukan pada tepi atap bangunan rumah saja, melainkan bangunan garasi mobil pun, di buat sedemikian rupa. Terkesan, rumah tersebut memperlihatkan kepatenan dari unsur jawanya.



 Pada bagian atap teras utama, terdapat dua pilar beton dengan hiasan lampu tempel, kalau istilah dalam bahasa jawa adalah, lampu teplok. Pada bagian teras ke dua, terdapat pilar berjumlah 4 belah. Ke 4 pilar tersebut berbahan baku dari kayu, di tata secara berjajar dengan di fungsikan sebagai penyangga atap bangunan teras. Setiap sudut pilar bagian atas, terdapat hiasan berbentuk bingkai, dengan pahatan sulur sulur jenis tanaman. Pahatan sulur sulur, dapat kita jumpai pada bangunan bangunan Masjid Kuno, atau bangunan Candi. Jadi, arsitek belanda kala itu, menciptakan hiasan tersebut juga mengadopsi dari hiasan hiasan yang sudah ada pada bangunan yang terdahulu. Hiasan itu memberikan suguhan tentang keunikan, keindahan di dalam kearifan lokal yang di miliki oleh warga pribumi. Sehingga, keinginan dari sang arsitek tersebut mampu memberikan kesan tersendiri di dalam setiap pandangan. Menyediakan dan memanjakan pandangan yang akhirnya menimbulkan kekaguman tersendiri bagi penghuni atau tamu yang sengaja berkunjung ke rumah tersebut.



Selain pilar yang terdapat pada bagian teras utama dan kedua, pilar pilar lainnya juga dapat kita temukan pada bagian samping rumah sebelah kanan. Pilar tersebut berjumlah 4 tiang, yang bersandingan dengan bangunan garasi mobil. Sedangkan samping rumah sebelah kiri, pilar dengan ukuran sama, yang menunjukan cirikas penyangga bangunan kas eropa, hanya terdapat dua batang saja. Untuk exterior lainnya, kita di suguhkan dengan komponen kusen jendela lengkap dengan daun pintunya. Pintu jendela dengan dua daun, kusen dengan pahatan hiasan Cakra yang terbalut sulur sulur berupa tanaman endemik kas Nusantara., lalu di bingkai hampir menyerupai pajangan berupa lukisan.

Sebelum kita lanjutkan pembahasan bangunan yang berada di depan, kali ini, kita tertarik dengan bangunan sumur yang berada di belakang rumah. Coba renungkan sejenak, lalu pandangi dan rasakan tentang aktifitas kehidupan kala itu. Imajinasi itu, pasti akan membawa kita atau menuntun kita, di mana kehidupan kala itu penuh dengan adab budaya jawanya, yang juga di pakai oleh warga berkebangsaan belanda. Seperti pada konsep awal, tentang pembangunan sumur pada jaman itu. Sudah semestinya, kita mengikuti aturan leluhur yang telah mendahului kita. Seyogyanya, bangunan sumur tetap berada di belakang rumah. Bangunan sumur orang orang di jaman itu, selalu mengedepankan budayanya. Di mana, setiap bangunan sumur memiliki pagar pembatas yang mengelilingi sumur itu sendiri. Bangunan pagar pembatas memiliki ketebalan hampir 40 cm, tinggi 120 cm. Dan posisi galian sumur, berada di tengah tengah pagar pembatas tersebut. Bangunan pagar pembatas, sebenarnya di fungsikan untuk menahan gerusan tanah yang terkena abrasi air hujan. Bukan di fungsikan sebagai aling aling supaya tidak terlihat dari luar saat aktifitas di sumur berlangsung. Sesuai dengan ciri kasnya, galian sumur memiliki ukuran diameter yang tidak semestinya, yang tidak sama diameternya dengan galian sumur pada jaman sekarang. Lebih besar ukuran diameternya pada jaman kolonial. Kenapa demikian, alasan sementara, supaya tampungan sumber mata air tersebut melimpah.

Bahasan kita focuskan pada bangunan yang berada di depan pojok kanan. Kita sempat terkecoh dengan bangunan ini. Ketika pengagum bangunan masa kolonial melihat ini, pasti akan menduga bangunan tersebut merupakan transit berkala, atau halte kereta api. Awalnya, melihat bangunan tersebut, saya pribadi menaruh kekaguman, dan mengutarakan, ternyata masih ada bangunan halte kereta api yang masih berdiri sempurna, terawat, bersih dengan beberapa exterior dan interior yang apik. Bahkan, ketika melihat hiasan yang menempel pada dinding bagian belakan. Seperti daftar daftar jam perjalanan, harga tiket yang mengikuti standar kelasnya, juga tertera di papan informasi. Konstruksi bangunan yang sama dengan halte halte perhentian, mirip sekali dengan bangunan halte kereta api yang berada di kecamatan Jambu. Mulai dari desain konstruksi bangunannya, hingga kusen pintu utama dan kusen pintu jendelanya. Yang membuat kepercayaan itu semakin bertambah, ketika melihat angka tahun yang tertera pada dinding atap bagian sisi barat, bertuliskan angka tahun Anno 1873, tercatat pula letak dari ketinggian bangunan tersebut dengan angka 477 di atas permukaan air laut.




Ada yang menarik lagi di sini, selain expore bangunan bangunan tersebut. Ternyata, keluarga yang memiliki bangunan ini, merupakan kerabat dari keraton jogja. Pantesan, ketika kita meminta ijin untuk explore bangunan, beliau menerima permohonan kita dengan ramah, sopan dan hangat. Dan, yang lebih meyakinkan lagi ketiak kita meihat almamater atau simbul keraton jogja yang terpasang pada kuda kuda teras utamanya. Mungkin ada pertanyaan, kenapa miniatur halte pemberhentian kereta di bangun di depan rumah beliau. Usut punya usut, ternyata, Bapak sebagai kepala keluarga tersebut, adalah pensiunan dari pegawa P.T Perkeretaapian Indonesia. Dan beliau memang pengagum bangunan bangunan masa kolonial. Dari kecintaanya beliau tentang bangunan kolonial, beliau membangun halte kereta api untuk di jadikan Lhan bisnisnya, berupa kaffe. Nah, kaffe di sini menyediakan berbagai macam minuman kopi, dari yang arabika hingga kopi robusta. Berbagai menu makanan nusantara juga tersaji di caffe ini. Kaffe ini buka dari jam 9 pagi sampai jam 10 malam. Apa lagi, kalau pas malam minggu, pengunjung di sini sangat ramai pengunjung. Dari yang muda, sampai yang berusia tua. Menikmati suasana malam, dan merasakan serta meresapi kehidupan jaman kolonial, dengan memandangi bentuk bentuk bangunan masa itu. Kalian, para pemuda, wajib mencobanya.

Salam Satu jalur Nusantara Kita  


















Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU LUMPANG DAN UNFINIS YONI KENDALI SODO

SITUS CANDI DI MAKAM WALIULLOH KHASAN MUNADI

MAKAM WALIULLOH SYECH SUDJONO DAN KE DUA SAHABATNYA