CANDI GUNUNG BATUR, KARANGPADANG, BANYUBIRU

 SITUS GUNUNG BATUR BANYUBIRU, TEMPAT MENUNTUT ILMU PARA BRAHMANA

Ketika memori itu masih tersimpan di dalam otak

Teringat pada tahun 2018, dengan mengawali blusukan dan pengenalan  tentang jejak leluhur nusantara yang berada di sekitar kita. Maka dari itu, pada tahun 2024 ini, kita mengulang lagi blusukan ke salah satu daerah yang menurut saya pribadi, adalah tempat yang sangat nyaman dan tentram. Saya pribadi juga tidak tau kenapa demikian, ketika mengadakan acara blusukan bersama teman teman, selalu merasakan ketenangan saat berada di tempat yang kedapatan situs bersejarahnya.

Contohnya, di wilayah kecamatan Banyubiru
Wilayah tersebut memberikan kesejukan dan kenyamanan saat berkunjung ke sana, apa di karenakan tempat atau wilayahnya di area pegunungan dan perbukitan. Mungkin juga demikian, dan menurut saya ada keterkaitan dengan leluhur kita. Tentang pembuatan tempat tempat yang di sakralkan dan di keramatkan, kenapa keberadaan selalu berada di lokasi yang menurutku teramat sangat  istime. Disini, saya pribadi belum menemukan jawaban pastinya. Tidak usah terlalu berpuitis tentang ke indahan alam. Semua, sudah tersedia dari Yang kuasa untuk kita sebagai umat manusia. Langsung saja ke titik pembahasan tentang keberadaan situs situs di Desa Karangpadang, Kecamatan Banyubiru.

Kunjungan kita berawal di suatu tempat, lokasi tersebut ternyata menyimoan situs cagara budaya berupa lapik arca dan masih di desa karang padang. Kira kira, ada apa saja di desa karangpadang tersebut. Mari, bersama kita telusuri

                                          

Lapik arca
Nah, kira kira apa yang di maksud dengan lapik arca
Lapik arca adalah, benda untuk mendirikan arca atau benda yang mendukung berdirinya arca. Benda tersebut berada di bawah vondasi talut jalan penghubung desa. Dengan bentuk bujur sangkar dan memiliki cerat di bagian tengah struturnya. Memiliki ukuran P x L 80 cm, dengan tinggi 60 cm, dengan lubang tengah berbentuk palang romawi, yang di fungsikan untuk pengunci berdirinya arca. Menurut cerita warga setempat, keberadaan lapik tersebut berada di tengah jalan penghubung desa, sebelum di bangun. Ketika jalan tersebut di bangun, benda tersebut di geser sedikit ke sisi timur, demi kelangsungan atau kelancaran pembangunan jalan. 

Jangan janagan, lokasi keberadaan lapik arca tersebut, dahulu merupakan tempat berdirinya bangunan candi.

Tunggu sebentar, bukan seperti itu cara berfikirnya, bukan berarti adanya lapik arca, harus berdiri bangunan candi. Begini, ada dua hal yang bisa di jadikan sumber jawaban, atas pertanyaan demikian.

1. Bisa saja lapik arca tersebut pindahan dari sebuah bangunan. Dalam arti, keberadaan lapik arca tidak berasal dari tempat yang sekarang ini. Melainkan, pindahan dari tempat lain. Secara kebetulan, tempat yang sekarang ini, adalah transit terakhir lapik arca tersebut.

yang ke 2. Sebutan untuk bangunan candi, beralaku di pulau jawa khususnya. Walau pun berbeda konsep bangunannya, namun, untuk sebutannya tetap sama. Dan jika memang benar lapik tersebut berasal dari tempat yang sekarang ini. Bukan berarti, keberadaan lapik arca di dalam bangunan candi pada umumnya. Harus ada bagian selasar, tubuh candi, mau pun atap candi. Sebutan untuk temuan bangunan kuno di jawa, secara menyeluruh di sebut bangunan candi. entah itu konsep bangunan candi tempat pemujaan, entah itu konsep bangunan petirtaan, dan entah itu konsep bangunan dharmasala. Ketika merujuk pada temuan lapik arca tersebut, dugaan sementara, lapik arca beserta arcanya, berdiri di atas lantai dengan konsep punden, yang mungkin memiliki satu teras saja. Dengan panel panel batuan berpola, dominan dengan bentuk kotak persegi panjang dan di tata secara sejajar mengikuti kontur tanah yang sudah di ratakan. Kemungkinan, batuan atau panel tersebut di tata secara berlapis. Dan penataan tersebut kemungkinan juga, terdiri 3 lapis dari batu dasar bawahnya.

Semoga faham dengan cara penyampaian ini

Untuk kunjungan yang berikutnya, jarak kisaran 300 meteran, kita mendatangi situs berupa batu lumpang yang berada di sudut pinggiran desa. Mau heran, tapi memang demikian faktanya. Bentuk batu Lumpang dengan pahatan yang menurutkuan sangat sempurna. Pahatan yang benar benar sangat rajin dan apik. Batu lumpang tersebut, secara keseluruhan memiliki ukuran diameter 120 cm, diameter lubang tengah, dengan ukuran 40 cm, dengan kedalaman 30 cm.

Nah, apa sih peranan batu lumpang tersebut
Mari kita bahas dengan hasil kajian saya pribadi

                                                         Untuk pendapat yang Pertama

Watu Lumpang Merupakan penanda suatu wilayah yang di sebut dengan " Krajan ".

Di mana terdapat sebuah desa atau tempat yang berkaitan dengan nama Krajan sebagai toponiminya. Sudah bisa di pastikan, lokasi tersebut terdapat situs cagar budaya, minimal watu lumpang dan situs lainya. Kemungkinan juga, keberadaan sisa bangunan Candi maupun jenis arca Nandi mau pun Yoni, sebutan luasnya watu lesung atau watu kenteng.

Pendapat Ke dua:
Watu Lumpang sengaja di buat sebagai alat untuk mempermudah suatu pekerjaan. Sebagai contoh, untuk menumbuk hasil pertanian mau pun bahan obat obatan herbal di masa itu.

Pendapat Ketiga :
Watu lumpang di ciptakan sebagai piranti atau sarana pemujaan dewi kesuburan atau Dewi Sri atau Dewi Padi. Pemujaan tersebut di lakukan dengan cara mengikut sertakan lapisan masyarakat untuk melakukan acara sakral. Pemujaan kepada dewi Sri pun, dilakukan  di tengah tengah tanah yang luas dan lapang, tentunya dengan bacaan bacaan mantera dan doa yang di harapkan, supaya hasil dari pertanian tidak mengalami gagal panen. Terhindar dari berbagai macam balak seperti, hama dan timbulnya gejala alam.

Dengan adanya ritual semacam itu, terciptalah tradisi " Wiwitan ( bahasa jawa ) atau awalan ". Tradisi tersebut masih terlaksana hingga sampai sekarang. Acara seperti itu masih diadakan khususnya daerah pulau Jawa dan Bali. Wiwitan adalah, upacara adat Budaya yang di lakukan untuk mengawali atau memulainya masa panen. Kebanyakan acara acara adat tersebut dilaksanakan saat mulai panen.
Dengan adanya tradisi semacam itu, leluhur Nusantara mewariskan budaya ke generasi berikutnya. Walaupun beda cara berdoa, namun sikap pelaksanaan tetap sama walaupun beda tipis.
Jangan memiliki persepsi yang negatif. 
Karena, kita mempunyai konsep masing masing dalam melaksanakan atau melakukan ucapan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pendapat Ke Empat

Watu Lumpang memiliki pasangan yaitu sebatang Alu ( jawa ) Yang terbuat dari batu Juga. Antara watu lumpang dan alu, Merupakan benda yang di gunakan sebagai sarana untuk pemujaan. Pendapat ini memang agak masuk akal jika menurut saya. Alu dan watu lumpang, Merupakan gambaran atau bentuk lingga dan yoni yang belum sempurna.
Setiap masa, Perkembangan pemikiran manusia selalu mengalami perubahan dengan ide kreatifnya, untuk membuat suatu gagasan yang masuk logika.

Kalau jaman sekarang, Lingga Yoni Reborn

Secara keseluruhan pendapat di atas, bagiku masuk di akal semua. Untuk mencari kebenaran tentang fungsi watu lumpang sangat sulit. Karena, Belum pernah di ketahui atau di temui sebait prasasti yang menjelaskan tentang kegunaan watu lumpang tersebut.
Biarkan manusia berpendapat tentang logika dan nalar yang di gunakannya, Kembalikan pada pendapat yang terakhir. Bahwa, informasi yang memuat tentang kegunaan watu lumpang sangat minim dan belum di ketahui sumbernya yang jelas. Bentuk batu lumpang bulat yang sempurna pada bagian penampang atasnya. Jika di lihat dari sisi samping, bentuknya hampir menyerupai setengah lingkaran bola. Pada penampang atas terpahat cekungan dengan ukuran lingkar tepi 40 cm. Seangkan kedalaman lubang tengah batu lumpang 30 cm. Ukuran tinggi batu lumpang, kurang lebih 80 cm dari permukaan tanah, Untuk ukuran diameter secara kesuluruhan 120 cm. Keberadaan batu lumpang tersebut berada di pinggiran desa Karangpadang. Mungkinkah lokasi tersebut, sebelum berubah keadaannya, adalah tempat yang di pergunakan untuk mengawali ritual wiwitan.

                                          

Tugas saya sebagai penulis atau perangkai sebuah kalimat, hanya berbagi sedikit pengetahuan yang saya pelajari saja. Selanjutnya terserah mereka mereka yang akan menanggapi hal ini.
Nah, ini titik poin bahasan yang paling keren menurut saya pribadi. Karena, obyek seperti ini, hanya ada dua tempat yang baru saya kunjungi. 
1. Di Kecamatan banyubiru
2. Kecamatan Ungaran Barat

Banyak yang menyebutkan dengan sebutan langgar bubrah atau bangunan masjid wurung. Kedua nama obyek tersebut memiliki kisah cerita yang sama dari masyarakat setempat. Pembuatan Masjid yang di lakukan oleh seorang wali, dengan durasi yang di tentukan. Akan tetapi, waktu yang telah di tentukan sudah terlewatkan atau sudah habis, sebelum bangunan tersebut jadi. Begitulah sepenggal cerita, kenapa di sebut dengan bangunan masjid wurung atau langgar bubrah. Nah, dari sini kita bisa menarik kesimpulan. Kenapa tidak di sebutkan bangunan candi bubrah atau bangunan candi rubuh.
Begini, menurut pemikiran dari pendapat saya pribadi
Rakyat indonesia masih memegang teguh pesan dari leluhur yang sudah mendahuluinya. Posisi kita sekarang merupakan ahli warisnya, yang di warisi beberapa pesan yang masih menyimpan kesakralan. Dengan adanya kesakralan tersebut, beberapa tempat yang di keramatkan akan di jaga melalui berbagai unsur cearita yang melibatkan beberapa tokoh pendahulunya. Misalnya, tokoh pemimpin besar yang menjabat dan memiliki gelar pada masanya. Seperti Bhre Kertabhumi, Raja Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan sebutan Brawijaya V. Yang berikutnya adalah tokoh yang di jadikan panutan masyarakat di jawa, beliau lebih di kenal dengan sebutan Kanjeng Sunan Kalijaga. Tokoh berikutnya, hanya penyebutan sosok gelar saja, dengan sebutan wali. Jadi, ketika obyek yang di maksud memiliki keterkaitan kisah cerita dengan ke 3 tokoh tersebut. Maka, lapisan masyarakat akan percaya engan hal hal kemistikan dan kesakralan obyek obyek tersebut. Bahkan, obyek tersebut akan di jaga dan di lestarikan menurut pendapatnya msaing masing.

Sama halnya dengan reruntuhan bangunan yang berada di desa karangpadang ini, banyak yang menceritakan, reruntuhan bangunan tersebut merupakan bangunan Langgar bubrah, atau masjid wurung, yang di buat oleh sosok wali dalam waktu satu malam. Ketika, bangunan yang di sebut belum selesai di buat, mendadak sang fajar menyingsing dari ufuk timur. Sehingga, gagalah pembangunan yang di lakukan oleh Mbah wali. Begitulah, cara leluhur kita melestarikan warisan dari leluhurnya yang terdahulu. Supaya, anak cucunya bisa melihat sepak terjang nenek moyangnya, dan melihat hasil karya karya dari nenek moyangnya

                                         

Di sisi barat desa Karangpadang, lebih tepatnya berada puncak bukit kecil atau gumug, terdapat reruntuhan sebuah bangunan yang masih terlihat denah baturnya. Bangunan tersebut berbentuk persegi panjang mebujur ke arah selatan dan utara. Pada batur sebelah utara terdapat dua anak tangga, yang berada di sisi timur dan barat. Kedua anak tangga merupakan akses jalan untuk menuju ke sebuah ruangan. Dan bisa di pastikan, bahwa bangunan tersebut mengahadap ke arah utara. Dengan denah berbentuk persegi panjang, bangunan tersebut memiliki ukuran panjang 10 meter dan lebar 5 meter. Kontruksi banguna berbentuk punden dengan satu teras saja. Di duga, bangunan berupa pendopo yang memiliki komponen umpak yang berfungsi sebagai penopang sebuah koponen yang berada di atasnya. Empat buah umpak yang berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter penampang bagian atas masing masing 30 cm. Di duga, komponen yang berdiri di atas umpak berbahan baku kayu, yang di sebut dengan soko guru. Soko guru berfungsi sebagai penopang konstruksi bangunan berupa atap yang berbentuk joglo limas. Jika kita gambarkan konstruksi bangunan tersebut, mengingatkan kita pada sebuah bangunan yang berada di komplek percandian Dieng Plateu, Banjarnegara.

                                              

Dharmasala
Iya, bangunan tersebut bernama Dharmasala
Sebuah bangunan yang berbentuk joglo limas pada bagian atapnya, dan berbentuk persegi panjang membujur, dengan konstruksi bangunan berbentuk punden dengan satu teras saja. Dharmasala merupakan tepat para brahmana menuntut dan mengajarkan ilmu keagamaan Hindu siwa kala itu. Ketika kita melihat bangunan Dharmasala di komplek percandian dieng, banyak sekali bangunan bangunan pendamping berupa candi candi tempat pemujaan. Kira kira, apakah Bangunan Dharmasala di desa karang padang juga memiliki pendamping bangunan candi, sepeti di komplek percandian dieng. Konsepnya tidak begitu juga, bangunan Dharmasala tidak harus dekat atau tidak harus memiliki bangunan pendamping seperti candi. Bangunan Dharmasala dan candi, tidak harus saling berdekatan. Bahkan, ada juga ke dua bangunan tersebut memiliki jarak kisaran ratusan meter. Sama halnya dengan Dharmasala yang berada di situs ondo Budho sikunang, Banjarnegara. Da juga yang memiliki pendapat bahwa, Dharmasalah adalah sebuah bangunan yang di peruntukan para brahmana beristirahat sejenak. Untuk melepas lelah saat melakukan perjalanan religinya, menuju ke komplek percandian untuk peribadatan yang sakral, dengan pemujaan kepada  Dewanya.

Salam Jejak Nusantara
Kunjungi
Lindungi
Lestarikan






Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU LUMPANG DAN UNFINIS YONI KENDALI SODO

SITUS CANDI DI MAKAM WALIULLOH KHASAN MUNADI

MAKAM WALIULLOH SYECH SUDJONO DAN KE DUA SAHABATNYA