DI DUGA MAKAM SEPUH DADUNG AWUK

'' MAKAM ABDI KINASIH JAKA TINGKIR, DADUNG AWUK ATAU JAKA PINGIT, KECAMATAN JAMBU ''

Siapa yang tak kenal dengan karakter tokoh Dadung Awuk, yang selalu menemani perjalanan Jaka Tingkir saat mengembara mencari jatidirinya. Dadug awuk merupakan Abdi Kinasih dari Jaka Tingkir sebelum menjadi Sultan Pajang kala itu. Di kisahkan mereka berdua selalu bersama sama dalam perjalanan. Ibarat kata, di mana ada Jaka Tingkir di sebelahnya pasti ada Dadung Awuk, begitu juga sebaliknya. Kisah tersebut sampai terkenal di kalangan lapisan masyarakat ramai. Tokoh Dadung Awuk di jadikan tonggak sejarah yang mengantarkan Jaka Tingkir menjadi Seorang Raja. Bahkan, tokoh Dadung Awuk di jadikan pedoman dalam belajar ilmu spiritual. Sampai, makam beliau terdapat di berbagai penjuru wilayah, dari Jawa tengah sampai ke jawa timuran.

Ternyata, dari beberapa sumber yang pernah saya baca, karakter tokoh Dadung Awuk itu memiliki dua kategori.

Komplek Makam Langgam Tembayat, Pakubuwono

Kategori pertama tentang Pertunjukan seni budaya

Sedangkan untuk kategori yang kedua adalah Legenda atau pun cerita rakyat yang menggambarkan pesan moral. Nah, sekarang kita akan mengupas tentang kategori yang pertaa terlebih dahulu berdasarkan sumber literasinya.

Dadung Awuk merupakan  salah satu seni pertunjukan yang berasal dari Yogyakarta. Seni pertunjukan ini merupakan teater rakyat yang berbentuk Dramatari. Dramatari merupakan pertunjukan yang memadukan antara lakon, drama, tari, dan iringan musik. Disebutkan bahwa Dadung Awuk merupakan perkembangan dari Srandul yang juga merupakan salah satu bentuk kesenian rakyat. Namun ada perbedaan khusus antara Dadung Awuk dan Srandul. Yaitu, Dadung Awuk khusus mementaskan lakon-lakon yang berkisah tentang tokohnya. Yang bernama Dadung Awuk, yang terdiri dari berbagai macam serial.

Mulai dari masa mudanya sampai ia mengabdi kepada kerajaan Demak. Hingga bertemu dengan Jaka Tingkir. Cerita yang dimainkan dalam kisah Dadung Awuk ini adalah, merupakan kisah dari seorang tokoh yang benama Dadung Awuk itu sendiri. Sedangkan Srandul mementaskan lakon-lakon yang bersumber dari Serat Menak, Cerita Panji, legenda, dan dongeng.

Untuk mementaskan pertunjukan Dadung Awuk secara lengkap, diperlukan pendukung sebanyak kurang lebih 30 orang yaitu, 9 orang sebagai pemusik dan vokalis. Serta 21 orang sebagai pemain yang terdiri dari pria semua. Peran wanita di sini akan dimainkan oleh pria, kesenian ini dipentaskan di berbagai ruang publik. Di antaranya adalah, halaman rumah, lapangan, pendopo, panggung-panggung kesenian, pada saat kesempatan tertentu. Alat-alat musik yang dipergunakan hampir sama dengan peralatan musik Srandul yaitu, angklung, kendang dan terbang. Pertunjukan diawali dengan memainkan alat musik untuk menarik perhatian penonton. Ketika penonton sudah berkumpul, maka musik pembuka mulai dimainkan. Dan seorang dalang atau tukang cerita membuka pertunjukan. Tukang cerita akan menyapa penonton untuk memaparkan lakon lakon yang akan dimainkan. Selanjutnya, pertunjukan berjalan dimana, setiap penari akan keluar dan masuk panggung dengan menari. Tarian dan kostum yang dikenakan cukup sederhana. Hal ini tentu akan menyesuaikan dengan gambaran tokoh-tokoh yang dimainkan.

Kisah Dadung Awuk, tumbuh dan berkembang sebagai salah satu teater rakyat. Yang memiliki fungsi utama, memberikan hiburan kepada masyarakat. Fungsi lain yang tidak kalah pentingnya adalah, sebagai media perekat nilai-nilai sosial dalam masyarakat, termasuk dramatari yang penuh dengan pesan pesan moral. Dadung Awuk juga berfungsi sebagai sistem kontrol sosial dan media penerangan yang efektif bagi masyarakat.

Legenda ini mengisahkan tentang pertarungan Jaka Tingkir dan Dadung Awuk. Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya alias Karebet, merupakan salah satu prajurit yang baru saja lulus dari pendidikan militernya di Demak Bintoro. Kariernya cukup baik, terlihat dari kenaikan pangkat yang diterimanya sehingga menjadi lurah. Jabatan yang belum usang disandangnya ini terpaksa ditanggalkan. Alasannya, beliau mendapat kenaikan pangkat jabatan yang lebih tinggi lagi. Yakni, menjadi komandan yang bertanggung jawab atas keselamatan raja dan kerabatnya.

Di suatu siang, Jaka Tingkir sedang berada di pelataran kamadungan untuk menyaksikan pendadaran calon perwira baru. Tentu saja untuk lulus uji ini tantangannya sangat berat. Meski dia dikala itu sudah menjadi perwira tinggi, dia masih terlibat langsung dalam pelatihan militer tersebut. Berdiri seorang pemuda tegap, yang kekar, memiliki postur tubuh gempal, dia bernama Dadung Awuk. Dia bukan sosok yang mudah diremehkan karena kekuatannya. Dadung Awuk merupakan salah satu peserta dalam pendadaran ini. Jaka Tingkir merasa tertarik dengan si Dadung Awuk, karena baru saja mengalahkan seekor banteng. Bahkan saking luar biasanya, banteng yang menjadi lawan tandingnya Dadung Awuk, kepalanya remuk akibat pukulan keras yang di lakukan oleh  Dadung awuk. Sebagai orang yang bertanggung jawab penuh, atas helatan tadi. Akhirnya, Mas Karebet menghampiri Dadung awuk, yang terbawa suasana bahagia karena keberhasilannya mengalahkan bateng sebagai lawan tandingnya. Dadung Awuk bahkan sangat berharap, Mas Karebet yang tkenaler itu, berkenan langsung mengujinya. Pertandingan ini berlangsung cukup alot. Dadung Awuk yang merasa di atas angin, karena kemenangannya, hingga menjadikan dirinya angkuh dan sombong. Justru lengah dan kalah oleh kekuatan Joko Tingkir, sehingga menunjukan keberhasilan mengalahkan Dadung Awuk terbunuh.

Terjadilah keributan, akibat adanya pembunuhan yang tak disengaja ini. Akhirnya, Joko Tingkir terpaksa dicopot dari jabatan perwiranya. Di barengi dengan adanya situasi politik yang tidak kondusif. Akibat kejadian ini. Karier militer yang dirintis dengan cucuran keringat dan darah itu, akhirnya pupus di tengah perjalanannya.

Di masa sekarang, teater rakyat Dadung Awuk di Yogyakarta memang terancam punah. Walaupun masih ada beberapa kali diadakan acara tersebut oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu grup kesenian Dadung Awuk yang masih bertahan adalah, Dadung Awuk Mudatama yang terdapat di Tegalrejo, Taman Martani, Sleman, Yogyakarta. Dengan berbagai keterbatasan grup kesenian ini, masih mencoba untuk bertahan hidup. Dadung Awuk Mudatama ini hanya menggelar pertunjukan jika ada pihak-pihak tertentu yang memberi kesempatan pentas. Atau pada saat acara peringatan Hari Besar Kemerdekaan Republik Indonesia saja, dengan dukungan masyarakat setempat.

Sebagai seni pertunjukan yang cukup fleksibel, Dadung Awuk sesungguhnya mampu mengakomodir perkembangan zaman, tanpa harus menghilangkan nilai-nilai tradisisi yang melekat. Oleh karena itu, Dadung Awuk penting dilestarikan karena mengandung nilai-nilai tradisi yang layak diketahui oleh masyarakat.

sumber wikipedia

Komplek Makam Langgam Tembayat, Pakubuwono

Sumber lain yang terkait penyebutan Jaka Tingkir dan Dadung Awuk, Sumber dari Sindo.com

Kedigjayaan Jaka Tingkir yang begitu melegenda di Tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari pusaka berupa ikat pinggang (timang) Kyai Bajulgiling yang diberikan gurunya Ki Buyut Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro. Karena konon timang Kyai Bajulgiling dibuat oleh Ki Buyut Banyubiru dari biji baja murni yang diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi dan kulit buaya. Dengan kekuatan gaibnya, bijih baja murni itu oleh Ki Banyubiru dibuat menjadi pusaka. Berdasarkan Babad Jawi dan Babad Pengging, kekuatan gaib yang dimiliki timang Kiai Bajulgiling ialah, barang siapa yang memakai ikat pinggang Kiai Bajulgiling ini, maka dia akan kebal dari segala macam senjata tajam dan ditakuti semua binatang buas.

Hal ini selain kekuatan alami yang dimiliki oleh inti biji baja murni itu sendiri, juga karena adanya kekuatan rajah berkekuatan gaib yang diguratkan Ki Banyubiru di seputar timang berkulit buaya tersebut. Kekuatan dan keampuhan ikat pinggang Kiai Bajulgiling beberapa kali dialami dan dibuktikan sendiri oleh JakaTingkir. Sebelum berguru ke Ki Banyubiru, Jaka Tingkir atau Mas Karebet ini pernah juga berguru ke Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Sela. Setelah berguru kepada Ageng Sela, dan Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir lalu disuruh untuk mengabdi ke Keraton Demak Bintoro.

Di Kesultanan Demak ini Jaka Tingkir melamar sebagai pengawal pribadi. Keberhasilannya meloncati kolam masjid dengan lompatan ke belakang tanpa sengaja, karena sekonyong-konyong Jaka Tingkir harus menghindari Sultan dan para pengiringnya memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai pengawal. Jaka Tingkir pun pandai menarik simpati raja Demak Trenggono sehingga dia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat Lurah Wiratamtama. Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir ditugaskan menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Ketika dihadapan Jaka Tingkir, Dadungawuk tidak ingin diseleksi seperti yang lain, namun malah ingin menjajal kesaktian dari Jaka Tingkir.

Karena merasa diremehkan, Jaka Tingkir sakit hati dan tidak bisa menahan emosinya sehingga Dadungawuk ditusuk dengan Sadak Kinang( tusuk konde) yang menembus jantungnya. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak karena konon Dadungdawuk juga merupakan kerabat Kesultanan Demak. Kepergiannya menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya. Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir pulang kembali dan ingin mati saja. Dua orang pertapa, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang (suami dari putri Bondan Kejawen atau adik Ki Ageng Getas Pendawa, kakek buyut Panempahan Senopati) memberinya semangat. Ketika Jaka Tingkir berziarah pada malam hari di makam ayahnya di Pengging.

Disana Jaka Tingkir mendengar suara atau wangsit yang menyuruhnya pergi ke tokoh keramat lain, yaitu Ki Buyut dari Banyubiru. Lalu Mas Karebet atau Jaka Tingkir pergi menemui Ki Buyut Banyubiru. Ki Banyubiru yang telah mengetahui maksud kedatangan Jaka Tingkir pun langsung menerimanya sebagai murid. Oleh guru yang sakti ini, Jaka Tingkir diberikan pelajaran-pelajaran ilmu kedigjayaan di Gunung Lawu. Salah satunya adalah dengan merendam diri dalam sungai yang dingin, dengan tujuan dapat mengendalikan hawa nafsu dalam diri Jaka Tingkir. Setelah beberapa bulan lamanya Jaka Tingkir menimba ilmu, Ki Buyut Banyubiru sudah memperbolehkan Jaka Tingkir untuk menemui Sultan Demak guna memohon pengampunan atas kesalahan yang pernah dilakukannya yaitu membunuh Dadungawuk. Sebelum berangkat ke Demak Ki Buyut Banyubiru memberikannya azimat Timang Kyai Bajulgiling. Perjalanan kembali Jaka Tingkir ke Demak dilakukan dengan getek (rakit yang hanya terdiri dari susunan beberapa batang bambu). Saat akan melewati Kedung Srengenge, Jaka Tingkir menghadapi hambatan karena adanya sekawanan buaya, kurang lebih berjumlah 40 ekor, yang menjadi penghuni dan penjaga kedung tersebut.

Percaya dengan kekuatan gaib dari timang ikat pinggang pemberian Ki Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir nekad mengayuhkan geteknya memasuki kawasan Kedung Srengenge. Bahaya pun mengancam ketika sekawanan buaya menghadang dan mengitari rakitnya. Namun berkat kekuatan gaib dari Timang Kiai Bajulgiling, buaya-buaya yang semula buas beringas seketika menjadi lemah dan akhirnya tunduk pada Jaka Tingkir. Bahkan keempat puluh buaya ekor buaya itu menjadi pengawal perjalanan Jaka Tingkir selama menyebrangi Kedung Srengenge dengan berenang di kiri-kanan, depan dan belakang rakitnya. Sedikit ulasasn kisah atau legenda Dadung Awuk dan Jaka tingkir.

Dua ulasan yang saya kutib dari beberapa narasumber yang berbeda, supaya bisa di jadikan sebagai pembanding. Cerita rakyat, atau kah benar ada sejarahnya, ataukah sejarah yang di jadikan Dramatari, ataukah Legenda yang di jadikan sebagai Dramatari. Bagai mana cara menyingkapinya, ketika semua bermanfaat, silahkan di pakai semua untuk kebaikan secara kebersamaan.

Komplek Makam Langgam Tembayat, Pakubuwono

Ulasan berikutnya, saya akan membahas tentang makam yang di Duga Pusara Dadung Awuk alias Jaka Pingit. Makam tersebut berada di salah satu kontur tanah perbukitan, berada di sisi kanan jalur utama Ambarawa menuju Magelang. Dengan alamat Desa Jambu Lor, Kecamatan jambu, Kabupaten Semarang. Banyak masyarakat yang meyakini bahwa, makam tersebut adalah pusara dari Abdi Kinasih Jaka Tingkir yang bernama Dadung Awuk.

Jika akan melakukan perjalanan spiritual dengan mengunjungi makamnya, jika tidak jeli dengan gang masuk menuju komplek makam, kebanyakan kesasar. Karena memang, penunjuk arah belum di sediakan. Lahan parkir pun, masih numpang di tanah produktif milik warga atau parkir di halaman rumah warga dengan meminta ijin selama melakukan kegiatan Ziarah. Harus melewati jajaran anak tangga, yang kemiringannya mencapai 60 derajad untuk bisa sampai ke komplek makam tersebut. Bangunan makam yang di duga pusara Dadung Awuk, untuk sekarang ini berbentuk punden berundak dengan dua teras. Teras yang pertama dengan bentuk kotak persegi panjang, dengan ukuran panjang 2,5 meter dan ukuran lebarnya 2 meter. Sedangkan teras kedua, sama sama memiliki bentuk persegi panjang dengan ukuran 1,5 meter dengan lebar 80 cm. Material yang di pergunakan untuk penyusunan makam tersebut adalah material batu alam. Jadi, makam tersebut terkesan seperti situs punden berundak atau mirip dengan situs megalit.

Apakah lokasi yang terdapat komplek makam tersebut, termasuk dalam kategori makam kasepuhan

Jawabannya adalah iya dan benar, 

Lokasi tersebut merupakan komplek makam kasepuhan, dengan beberapa bukti yang masih terlihat di atas pusara. Berupa ornamen atau panel penghias yang terdapat pada bangunan jirat makam. Untuk penyebutanya adalah, makam Pakubuwono langga Tembayat, abad ke 19 kisaran tahun 1800 an.

Nah dari sini, nanti bisa di artikan atau di raba sendiri, tentang kebenaran dan tidaknya, tentang komplek makam yang di duga pusara Tokoh Dadung Awuk atau Jaka Pingit.

Jika memang benar tokoh Dadung Awuk pernah memiliki peranan penting dalam mencetak sejarah saat menjadi abdi kinasih Jaka Tingkir. Seharusnya, bentuk nisan beliau memiliki pahatan atau langgam demak, seperti pada contoh.

Dan kenapa saya menyebutnya langgam demak

Karena, dalam cerita atau legenda, tokoh Dadung Awuk memiliki kisah perjalanan hidup pada masa kasultanan Demak. Ketika Jaka Tingkir belum di angkat menjadi Sultan Kerajaan Pajang, masih sering mengadakan pengembaraan untuk mencari Jati dirinya. Masih belajar ilmu keagamaan dan bergurun kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.

Dari penelitian kecil yang saya lakukan tersebut, bagai mana dengan tanggapan anda. Adakah alasan yang anda ketahui, tentang benar dan tidaknya makam tersebut.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU LUMPANG DAN UNFINIS YONI KENDALI SODO

SITUS CANDI DI MAKAM WALIULLOH KHASAN MUNADI

MAKAM WALIULLOH SYECH SUDJONO DAN KE DUA SAHABATNYA