SYECH DZAKIR MURID SUNAN GUNUNG JATI
PERANAN SYECH DZAKIR DI DESA GEDANGANAK
Setelah beberapa hari kemarin mengadakan penelusuran, tentang keberadaan tinggalan masa Hindu kuno di Desa Gedanganak, di nyatakan telah usai. Cuma, hanya beberapa saja, yang dapat kita lihat sampai saat ini. Ke empat obyek tersebut masih bertahan hingga sampai saat ini, masih di lestarikan, walaupun ada salah satu obyek yang sudah rusak, akan tetapi masih bisa di kenali. Dari beberapa Obyek Benda Cagar Budaya tersebut berupa, Watu Lumpang, Yoni, Sendang Kuno dan Punden berundak. Secara keseluruhan, obyek tersebut masih dalam satu lingkungan yang sama. Cuma, jarak atau radius, tempat keberadaan obyek di tempat yang terpisah. Kisaran 150 meter, dan itu pun letaknya yang paling jauh jika di banding obyek obyek yang lainnya.
Di gedanganak sendiri, sebenarnya ada 6 watu lumpang. Namun, keberadaanya sudah tidak dapat terlihat lagi. Hanya satu yang dapat terlihat dan saya abadikan di dalam bentuk tulisan maupun video. Seperti pada umumnya, keberadaan 5 watu lumpang tersebut sudah hancur, atau sudah tidak dapat di lihat lagi, dan dijadikan material untuk bahan vondasi Rumah. Kasusnya sama dengan tempat tempat yang lain.
Tidak lepas dari obyek tinggalan Hindu saja, ternyata di Desa Gedanganak memiliki cerita yang kental dengan Penggambaran tokoh Alim Ulama'. Bahkan di dalam cerita menyebutkan nama tokoh, dan memiliki kisah yang sangat menarik. Kisah tentang keterkaitan dalam alur cerita. Tokoh yang memiliki peranan penting dalam sistem pemerintahan Kasultanan Demak. Sebuah kerajaan Islam yang di pimpin Oleh Raden Fattah dan Dewan Wali Songo, sebagai Penasehatnya.
Nisan Sepuh Ki Ageng Tanjung |
Cerita itu berawal dari datangnya ke dua tokoh di Desa Gedanganak. Yang diceritakan bahwa, keduanya berasal dari Keraton Jogjakarta. Dengan nama Ki Ageng Tanjung dan Ki Ageng Wuluh. Keduanya merupakan anak dari pejabat pemerintahan, di Kasultanan Jogjakarta. Ayah dari kedua tokoh tersebut memiliki jabatan sebagai Tumenggung.
Kira kira, siapa nama Ayah dari ke dua tokoh terebut .. ???
Lah, inyong juga' ora ngarti, wong nang cerita ora di sebutna.
Cuma di sebutkan bahwa, kedua tokoh adalah kerabat Keraton. Ki Ageng Tanjung dan Ki Ageng Wuluh, sama sama di besarkan dan di didik dalam lingkungan keraton Jogjakarta. Hingga beliau berdua menjadi Remaja yang berpendidikan, yang mempunyai tata krama, dan mempunyai kewibawaan sebagai tokoh kebangsawanan. Setelah ayah dari kedua tokoh tersebut lanjut usia. Maka, Ki Ageng Tanjung dan Ki Ageng Wuluh merasa bahwa, sudah saatnya beliau berdua juga mengabdi ke Keraton. Karena beliau berdua merasa memiliki hutang budi ke Kasultanan.
Setelah usia semakin dewasa, dan keduanya menjadi pemuda yang cerdas. Keduanya mendapat titah dari Sri Sultan, untuk menyampaikan pesan ke Kerajaan Demak. Pesan tersebut berupa surat yang harus di haturkan kepada Sultan Demak. Surat tersebut berupa pesan yang berisi tentang sebuah permohonan. Agar supaya, ke dua pemuda yang mengantar surat, dapat diterima, untuk belajar sistem pemerintahan di Kerajaan Demak. Karena Sri Sultan menilai bahwa, Kerajaan Demak memang pantas untuk menuntut ilmu pemerintahan.
Sayangnya dalam cerita, untuk gelar Sri Sultan Hamengkubuwono yang ke berapa tidak di sebutkan. Semisal di sebutkan tentang gelarnya, Sri Sultan yang ke berapa, pasti ceritanya akan semakin seru dan menarik untuk di kupas.
Akhirnya isi dalam surat tersebut di bacakan langsung oleh Sultan Fattah, dan di sampaikan kembali kepada Ki Ageng Tanjung dan Ki Ageng Wuluh. Isi dalam surat merupakan sebuah perintah yang harus di jalankan. Namun, dalam perihal itu, Sultan atau raden Fattah memberikan wejangan kepada kedua pemuda tersebut. Untuk mendalami ilmu pemerintahan harus sabar dan jeli. Maka, keduanya di uji untuk menjadi Pekatik kuda perang Kerajaan Demak. Pekatik kuda adalah suatu pekerjaan yang tugasnya mencari rumput, memberi pakan kuda kadang melatih kuda dan memandikan kuda.
Sketsa Wajah Kanjeng Sunan Gunung Jati |
Kedua pemuda tersebut menerimanya dengan senang hati. Karena, pesan tersebut, di bacakan langsung Oleh Raja Penguasa Jawa kala itu. Setelah beberapa hari, berbulan bulan, ujian tersebut berjalan. Ki Ageng Tanjung dan Ki Ageng wuluh mendapatkan perhatian khusu dari Kanjeng Sunan Gunung Jati. Karena dinilai, keduanya memiliki tingkatan kesabaran yang hampir sama. Salah satu diantara pemuda itu melaksanakan aktifitasnya, bahkan sampai beribadah, mereka selalu berdua.
Hingga pada akhirnya, Kanjeng Sunan Gunung Jati menemui Sultan Fattah, untuk mengutarakan niatnya. Bahwa, Kanjeng Sunan Gunung Jati tertarik akan kesabaran kepada kedua pemuda tersebut. Dan ingin meminta kedua pemuda itu, untuk di jadikan muridnya. Maka, dengan senang hati, Raden Fattah pun mengijinkan kedua pemuda tersebut di asuh dan di angkat menjadi murid Kanjeng Sunan Gunung Jati. Selanjutnya, Kanjeng Sunan Gunung Jati menemui kedua pemuda, dan menyatakan tentang tujuannya. Bahwa, Kanjeng Sunan Gunung Jati tertarik dengan kepribadian kedua pemuda itu. Dan akan mengangkatnya menjadi murid, untuk mempelajari Ilmu Tasyawuf yang di miliki oleh Kanjeng Sunan. Mendengar tawaran itu, mereka berdua dengan suka cita menerimanya. Pada akhirnya, meraka berdua benar benar di angkat menjadi murid Kanjeng Sunan Gunung Jati dan belajar mendalami Ilmu Agama dan Ilmu Tasyawuf.
Hari berganti, bulan bulan di hitung serasa cepat sekali berlalu, tahun tahun pun berganti. Setelah faham dan memahami tentang Ilmu yang di sampaikan oleh Kanjeng Sunan, Kedua pemuda tersebut berniat untuk menghadap kepada Sultan Fattah. Mengurungkan niatnya untuk belajar tentang ilmu pemerintahan. Kedua pemuda malah memilih belajar ilmu keagamaan kepada Kanjeng Sunan Gunung Jati. Raden Fattah pun memahami, niat dari kedua pemuda. Maka, di utuslah kedua pemuda untuk pulang ke Jogjakarta, untuk menemui dan memberitahukan kepada Sultan Jogja tentang niatnya. Kedua pemuda mejalankan titah dari Sang Sulta Demak. Esok hari sebelum keberangkatannya, Kanjeng Sunan berpesan kepada kedua pemuda tersebut. Kalau perjalanannya ingin mendapatkan Ridho Dari Alloh Subkhanhuwata'ala. Maka, ilmu agama yang di pelajari dari Kanjeng Sunan, supaya di amalkan kepada siapa saja, yang mau belajar. Tanpa ada kekerasan, tanpa ada unsur paksaan. Ajarkan dan sebarkan kebaikan ini, kepada siapa saja yang mau belajar tentang mendalami ajaran Islam. Akhirnya kedua pemuda menerima dan memegang erat pesan dari Gurunya.
Maka Lurah pertama Gedanganak |
Dalam perjalanan menuju ke jogjakarta, mulai nampak tentang perbedaan di antara keduanya. Perbedaan itu terjadi pada Kyai Ageng Tanjung, yang benar benar menonjol. Dalam setiap langkah, beliau selalu melafalkan Dzikir dan ingat akan Kebesaran Alloh Subkhanahuwata'ala. Sedangkan Ki Ageng Wuluh tetap berjalan dan hanya berdiam diri dalam setiap langkah. Karena, beliau tau bahwa, Ki Ageng Tanjung sedang mengamalkan Lafadz Lailaa Haa Illalloh, Muhammadurrosululloh. Ki Ageng Wuluh menghormati dan tidak ingin menggagu niat dari Ki Ageng Tanjung.
Di tengah tengah perjalanan, beliau berdua menyempatkan diri beristirahat di suatu tempat. Karena, mengingat waktu sudah menunjukan tengah hari dan saatnya masuk dzuhur. Mampirlah beliau berdua di salah satu rumah warga, hanya ingin mempertanyakan tempat untuk melaksanakan Ibadah. Bukan hal aneh, ketika warga menjawabnya tidak ada tempat yang di maksud, karena penduduk setempat masih memegang erat keyakinan dari leluhurnya, Yaitu Hindu Buddha. Dengan Sangat terpaksa, Ki Ageng Wuluh meminta ijin kepada warga yang punya rumah tersebut. Meminta ijin untuk menjalankan Ibadah Sholat Dzuhur saja. Pada awalnya, tuan rumah agak ragu dengan kedua pemuda ini.
Ketika di pandang dari segi pakaian dan raut mukanya, tidak menunjukan kasta rendah, melainkan menunjukan Kasta Ksatria. Maka dari itu, warga pun mempersilahkan rumahnya untuk di jadikan tempat Ibadah. Sebelum mempersilahkan masuk, warga menawarkan tempat ibadah berupa tempat pemujaan berupa Candi. Ki Ageng Tanjung dan Ki Ageng Wuluh hanya tersenyum ramah, sembari memandangi raut wajah penduduk tersebut. Perkataan yang terucap dari Ki Ageng wuluh pun keluar, kita cukup beribadah di rumah saja, yang penting rumah atau tempat untuk kami beribadah itu bersih dan tidak terkena benda najiz. Warga yang mendengar ucapan tersebut semakin terdiam dan heran mendengar kalimat itu.
Sembari menunggu kedua pemuda selesai beribadah, warga masih terngiang ngiyang akan ucapan pada salah satu pemuda. Kalimat najis itu artinya apa. Setelah selesai dalam melaksanakan Ibadahnya, Warga pun memberanikan diri untuk bertanya tentang arti dari kalimat najis. Dengan senyum yang amat ramah akhirnya, di persilahkan Ki Ageng Tanjung untuk menjelaskan kalimat yang keluar dari ucapan Ki Ageng Wuluh tadi. Di sela sela penjelasan yang terjadi, awalnya hanya satu sampai dua orang menghampiri rumah warga, karena yang mereka lihat tidak pada umumnya. Penasaran dengan kedua pemuda, jika di lihat cara berpakaian, cara ramah tamah dengan warga, tidak pada umumnya. Seolah olah menyampaikan pesan yang sangat serius. Akhirnya, stiap warga yang melihat dari kejauhan, merapat untuk melihat dan mendengarkan pesan yang di sampaikan.
Singkat cerita, dari penyampaian pesan yang di dengarkan oleh warga desa, menunjukan hasil Syiar Agama Islam. Memang ada beberapa orang yang tertarik, berminat dan masuk mengikuti ajaran agama Islam. Walau pun, beberapa warga masih mengikuti dan menganut ajaran dari leluhurnya Hindu Buddha. Dengan cara berfikirnya warga yang menanyakan tentang najis, dan kenapa tidak beribadah di bangunan candi, terjawablah dengan sendirinya. Dengan menyimak dan memahami setiap kalimat kalimat yang di ucapkan dari kedua pemuda. Menjalankan pesan dari Sang Guru, Kedua pemuda itu di minta untuk tinggal beberapa hari lagi, untuk kesediaannya, mengajarkan tentang Ilmu Islam sampai Khatam, termasuk mempelajari Al qur'an dan isinya.
Singkat cerita, beberapa bulan kemudian, Ki Ageng Tanjung dan Ki Ageng Wuluh ijin pamit kepada seluruh warga, untuk melanjutkan perjalanannya ke jogjakarta. Seharusnya, perjalanan dari Demak Ke Keraton Jogjakarta di tempuh dengan waktu yang tidak lama. Perjalanan tersendat karena, kedua pemuda tersebut mematuhi pesan dari Sang Guru, dengan menyebarkan agama Islam di tiap daerah yang di lewatinya. Jarak tempuh menjadi satu tahun lamanya.
Sesampainya di keraton Jogjakarta, Ki Ageng Tanjung dan Ki Ageng Wuluh bertemu dengan keluarganya masing masing. Dan menceritakan keadaan Kerajaan Demak dan keadaan kedua pemuda tersebut di saat menuntut ilmu. Mendengar akan hal itu, ayah dari kedua pemuda semakin faham dari niat awalnya. Sehingga para Ayah dari kedua pemuda meminta kepada, supaya cepat menghadap ke Sri Sultan dan menceritakan kejadian yang di alami selama proses belajar menuntut Ilmu pemerintahan di Demak.
Esok harinya, kedua pemuda itu menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono dan menceritakan setiap kejadian, selama proses belajar ilmu tata negara di Kerajaan Demak. Beberapa saat kemudian, datanglah utusan dari Kerajaan Demak, dengan membawa pesan yang harus di sampaikan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono. Surat itu berisi tentang permohonan berupa bala bantuan prajurit, untuk menyusun kekuatan, dan menghadapi pertempuran melawan Kadipaten Pati. Saat pesan di baca, seketika itu pula Sri Sultan langsung mengutus Keduanya, untuk di kirim ke Kerajaan Demak dan membatu pertempuran melawan kadipaten Pati. Kedua pemuda melaksanakan titah dan berangkat bersama utusan dari Kerajaan Demak.
Sesampainya di Demak, kedua Pemuda tersebut langsung menghadap Sultan Fattah, dan siap menerima perintah kapan pun kedua pemuda itu di utusnya. Di Kerajaan Demak, kedua pemuda tersebut berjumpa kembali dengan Gurunya, yaitu Kanjeng Sunan Gunung Jati. Kedua pemuda tersebut di beri wejangan, saat berperang melawan prajurit dari Kadipaten Pati, harus waspada dan berhati hati. Karena, prajurit dari Kadipaten Pati sangat cerdik dalam mengatur siasat perang dan prajuritnya kuat kuat. Saat ada prajurit dari lawan, yang sudah tidak berdaya dan menyerah, jangan di bunuh, harus di ampuni, bagai mana pun, mereka adalah saudara kita, sebangsa, walau beda tata negara.
Dalam cerita, saat pertemuannya Kedua Pemuda tersebut dengan Sang Guru, di antara salah satu muridnya ada yang di beri amanat, yaitu berupa pusaka, untuk berjaga jaga, ketika kesulitan, pusaka tersebut boleh di gunakan. Dan, pemuda yang di beri pusaka oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati adalah Ki Ageng Tanjung. Dari situlah, perasaan yang timbul dari Ki Ageng Wuluh merasa tidak adil. Kenapa hanya Ki Ageng Tanjung saja yang di beri pusaka oleh Gurunya, sedangkan Beliau Tidak. Dengan perasaan sedikit kecewa, Ki Ageng Wuluh pun tetap berusaha menyembunyikan kekecewaan itu dari Gurunya. Esok harinya, kedua pemuda itu berangkat bersama Prajurit Demak, berjalan menuju Kadipaten Pati dan menggempur Kadipaten tersebut.
Saat berlangsungnya pertempuran, ternyata jumlah pasukan dari Demak kalah banyak, jika di banding dengan Pasukan dari Kadipaten Pati. Tidak dapat berkata, pasukan yang di kirim dari Demak kalang kabut di buatnya, Demak menerima kekalahan saat itu juga. Prajuritnya banyak yang gugur, dan banyak yang cacat. Diceritakan, keistimewaan dari Ki Ageng Tanjung pun terpaksa di pergunakan. Konon katanya, prajurit dari Demak yang sudah gugur, yang mengalami luka luka parah. Bisa bangkit kembali, sehat seperti sedia kala. Setelah Ki Ageng Tanjung berjalan dan melafadzkan Dzikir, sembari melangkahi setiap prajurit yang terluka parah akibat tebasan pedang, tertusuk tombak dan terkena mata panah. Pasukan yang bangkit kembali, beranjak melawan pasukan dari Kadipaten Pati. Sehingga pasukan dari Kadipaten Pati banyak yang gugur dan meyerahkan diri. Akhirnya peperangan itu di menangkan oleh pihak Kerajaan Demak.
Sepulangnya dari peperangan, kabar tersebut sampai ke telinga Sultan Fattah dan Kanjeng Sunan Gunung Jati. Tentunya, rasa senang tersebut terpancar dari wibawa Sang Sultan. Apa lagi saat beberapa prajurit menghadap Sang Sultan, dan menceritakan kejadian saat peperangan. Sang Sultan seolah olah tidak percaya dengan Karomah yang di miliki Ki Ageng Tanjung. Akhirnya, kedua pemuda tersebut, diangkat mejadi Tumenggung, dan di beri dua bidang tannah dengan lokasi yang berbeda. Ki Ageng wuluh menerimanya, namun beda dengan Ki Ageng Tanjung yang menolak secara halus. Beliau memilih untuk meninggalkan jabatan, gemerlapnya dunia, hanya ingin melanjutkan cita cita gurunya, menjadi tokoh Ulama' dan berperan menjadi seorang yang menyebarkan agama islam di bumi jawa. Ketika Sang Sunan mendengar pernyataan itu, Sang Sunan memberikan Gelar berupa nama sebutan yaitu Syech Dzakir. Karena Ki Ageng Tanjung memang benar benar melafadzkan Dzikir ketika di sela waktunya atau gemar berdzikir.
Ketika dalam perjamuan di Kerajaan, Syech Dzakir pun menyatakan niatnya, untuk undur diri, dan mengembara melanjutkan Syiar Islam. Dan di situlah, perpisahan dengan Ki Ageng Wuluh Terjadi. Pertemuan terakhir kedua pemuda tersebut, di iringi saling mendoakan yang baik, layaknya saudara satu kandung. Selepas Berpamitan dengan Ki Ageng Wuluh, Syech Dzakir berpamitan pula dengan Gurunya Kanjeng Sunan Gunug Jati, dan yang terakhir, beliau berpamitan dengan Sultan Fattah Sayyidin Panotogomo.
Setelah keluarnya Syech Dzakir dari Kerajaan Demak, beliau berjalan menyusuri panjangnya jalan, sejauh mata memandang. Hingga pada akhirnya, beliau menemukan sebuah pedesaan yang masih kental dengan tradisi hidnunya. Tepatnya, sebuah desa yang berada di sisi selatan semaran. Desa tersebut memiliki toponimi denga sebutan Gedanganak. Karena, wilayah tersebut banyak sekali di tumbuhi rimbunan pohon pisang yang keluar tunasnya. Seperti pada awal mulanya. Syech Dzakir tidak merubah tata caranya dalam Bersyiar agama Islam. Dengan berpura pura menanyakan tentang tempat untuk beribadah. Kejadian itu tidak beda, dengan awal mula Syech dzakir dan Ki Ageng Wuluh menyampaikan Syariat Islam di suatu tempat yang di kunjungi untuk pertama kalinya.
Tidak jauh beda dengan apa yang di jawab oleh Warga Gedanganak kala itu.
Cerita sedikit, sebelum nama wilayah berubah menjadi desa gedanganak, banyak sesepuh pini sepuh menceritakan, awal mulanya desa gedanganak bernama Desa Medang. Antara benar dan tidaknya, belum dapat di ketahui. Karena, peta terbitan belanda tahun 1909, nama desa gedanganak sudah di sebutkan.
Setelah Syech Dzakir di terima oleh masyarakat gedanganak dengan baik, beliau diberikan ijin untuk meyebarkan Syiar Islam di wilayah tersebut. Sampai pada akhirnya, Syech Dzakir pun memilih untuk menetap dan tinggal digedanganak. Sembari mengamalkan ilmunya di wilayah Gedanganak dan sekitarnya. Perkembangan ajaran Islam di gedanganak semakin pesat. Syech Dzakir pun, mendirikan sebuah padepokan, yang letaknya di atas Gunung sedrojog. Sambil mengamalkan Ilmu dari Gurunya, Syech Dzakir mendirikan praktek Pengobatan di rumahnya. Tentunya, obat obatan yang beliau pergunakan sebagai bahan adalah, jenis tanaman herbal yang tumbuh di hutan.
Syech Dzakir mendapatkan nama gelar lagi .. !!!
Siang itu, ketika Syech Dzakir selesai melaksanakan ibadah Sholat Dzuhur, beliau kedatangan salah seorang pasien, tidak lain adalah muridnya, yang mengalami sakit di sekujur tubuh. Seperti pada umumnya, pasien tersebut mengadu bahwa, sakitnya akibat terkena gangguan makhluk ghoib yang menyerang, saat si pasien mencari kayu bakar di hutan. Setelah memotong ranting kayu, badan tersebut terasa berat dan merasakan hawa panas. Syech Dzakir tersenyum mendengar peraduan itu. Tidak banyak bicara, Syech Dzakir menyuruh muridnya untuk memetik daun pepaya di depan rumah. Untuk di jadikan sarana obat menyembuhkan penyakitnya. Dengan sangat tergesa gesa, pasien tersebut keluar dan segera memetik daun pepaya yang di maksud.
Sepulangnya pasien yang pertama, datang lagi pasien yang ke dua, dengan keluhan yang berbeda. Yang di lakukan Syech Dzakir kepada Pasiennya, untuk memetik dau kelor di depan rumahnya.
Sepulangnya pasien yang kedua dari rumahan Syech Dzakir, beberapa saat, datang lagi pasien yang berikutnya. Dengan keluhan yang berbeda pula, dengan perlakuan yang tidak berubah. Pasien yang ketiga ini, di sarankan untuk memetik buah thoo di depan rumahnya. secara keseluruhan, obat obatan herbal tersebut di jadikan sarana untuk kesembuhan para pasiennya. Kejadian itu terus berulang dan berulang. Dari cerita tersebut, padahal di depan rumah Syech Dzakir tidak ada jenis jenis tanaman obat herbal yang di maksudkan. Seketika beliau mengucapkan, seketika itu pula, tanaman itu selalu ada dan tersedia di depan rumahnya. Dengan Kejadian itu, Syech Dzakir mendapatkan nama Gelar kehormatan, dengan Sebutan Mbah Wali Sengojo. Pengobatan tersebut semakin ramai, bahkan sekelas Pejabat pemerintahan seperti Tumenggung, Adipati, sampai Punggawa keraton pun, banyak yang berobat ke tempat beliau.
Di ceritakan, Mbah Wali Sengojo membuka praktek pengobatan di sebuah wilayah. Tempat Pengobatan yang beliau dirikan, berada di sebelah barat daya Desa Gedanganak. Di bukanya tiap Pasaran hari Jawa yaitu Wage dan legi. Setiap Mbah Wali Sengojo membuka praktek pengobatan, di pasaran hari itu, banyak pedagang yang ikut merapat dan meramaikan lokasi tersebut. Semakin ramai dan semakin ramai, akhirnya menjadi sebuah pasar tradisional sampai sekarang. Tempat tersebut di beri nama Babatan atau pasar Babatan, peralihan kata obat obatan menjadi Babatan. Tempat tersebut mmerupakan cikal bakal pasar Babadan. Entah cocok logi atau memang benar adanya, seperti itulah kejadiannya dalam cerita.
Ada Fersi atau cerita lain, dari penyebutan kalimat babatan. Ternyata, nama Babatan tidak berasal dari kalimat obat obatan saja.
Setelah Mbah Wali Sengojo pulang dari tepat prakteknya, mendadak di kejutkan oleh seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah Ki Ageng Wuluh. sontak Mbah Wali Sengojo kaget dengan perihal demikian. Karena saking lamanya tidak berjupa dengan sahabat karibnya. Mbah Wali Sengojo betul betul memahamkan raut wajah sahabatnya tersebut, sehingga ada satu hal yang membuat beliau ingat. Dari suara dan logat bicaranya, bahwa orang yang di temuinya dari jalur selatan, yaitu Jogjakarta. Saking bangganya, Mbah Wali Sengojo mengajaknya berjabat tangan dan memeluk karena saking bahagianya. Akan tetapi, ada yang aneh dengan Ki Ageng Wuluh. Tidak seperti biasanya saat berjumpa dengannya, sekilas ada satu hal yang hilang dari kebiasaannya. Yaitu, adab ketimuran yang menunjukan seorang priyagung.
Tanpa banyak kata, Ki Ageng Wuluh menghujani beberapa pertanyaan, yang menjadikan Mbah Wali Sengojo terdiam dan terpaku. Pertanyaan yang di lontarkan Ki Ageng Wuluh kepada Mbah Wali Sengojo tidak seperti biasanya. Kalimat itu sebenarnya pelan, kesannya ada unsur penghinaan. Tapi, Mbah Walli Sengojo menanggapinya dengan bijaksana dan penuh kesabaran. Dan yang membuat Mbah Wali Sengojo naik pitam ketika, Ki Ageng Wuluh mempertanyakan tentang Profesinya. Profesi Mbah Wali Sengojo berhasi karena ada kaitanya dengan Pusaka yang beliau dapat dari Gurunya, yaitu Kanjeng Sunan Gunung Jati. Mbah wali Sengojo mulai menjelaskan secara baik baik dan gamblang. Bahwa, profesi yang beliau dapat, karena pernah belajar ilbu tentang obat obatan ketika beliau masih berada di Keraton Jogjakarta kala itu. Dan secara kebetulan, profesi tersebut di lanjutkan karena banyak manfaatnya menolong sesama. Mbah Wali Sengojo juga menjelaskan tentang kegunaan keris, yang beliau dapat dari Kanjeng Sunan Gunung Jati. Bahwa sesungguhnya, Keris itu merupakan simbul atau identitas yang menyatakan bahwa, kita itu benar benar orang Jawa asli. Keris itu merupakan, ageman atau pegangan dari orang orang suku jawa.
Ki Ageng Wuluh pun masih membantah pernyataan itu, Pada akhirnya, Ki Ageng Wuluh mencoba merebut keris tersebut dari sarungnya. Yang di sisipkan, pada ikat pinggang Mbah Wali Sengojo. Dengan Sigap, Mbah Wali Sengojo menghindar dari perbuatan itu. Anggapan Ki Ageng Wuluh, Mbah Wali Senojo sengaja ingin mengajaknya bertarung. Walaupun sebenarnya, beliau sudah menghindar dari ajakan pertarungan itu. Sampai Mbah Wali Sengojo mmengurungkan niatnya untuk kembali kerumah. Dengan alasan, Beliau tidak mau terjadi perkelahian di lingkungan rumahnya. Akhirnya, Mbah Wali Sengojo kembali ke lokasi, di mana tempat praktek pengobatannya berdiri. Pecahlah perkelahian itu dengan sengit, serangan yang di lancarkan Ki Ageng Wuluh membabibuta dan bertubi tubi, sampai Mbah Wali Sengojo kuwalahan menghadapinya. Upaya menghindar, semakin menjadi jadi serangan dari Ki Ageng Wuluh yang di lancarkannya. Sehingga pada akhirnya, Ki Ageng Wuluh mengeluarkan keris dari sarungnya. Dengan Sangat terpaksa dan terdesak, Mbah Wali Sengojo pun ikut mengeluarkan Keris pemberian Kanjeng Sunan Gunung Jati dari sarungya. Keduanya saling mengayunkan pusakanya masing masing, saling menyerang, saling membabat. Dan akhirnya timbulah kalimat dengan sebutan Babat babatan. Yang artinya, keduanya mengayunkan senjata untuk untuk saling membunuh.
Maka, dari kalimat Babat babatan itulah, nama Babatan di ambil dan di jadikan nama sebuah pasar tradisional dengan sebutan Babatan.
Pertempuran keduanya tidak berhenti di situ saja, Mbah Wali Sengojo menggunakan salah satu Karomahnya, yang beliau dapat, ketika beliau melafadzkan Dzikir. Beliau terbang dari tempat praktek pengobatannya dan mendarat di sawah setugu. Dan beliau mendapat Gelar lagi dari Warga yang melihatnya saat bertarung dan terbang menghindar. Gelar itu di sematkan ke pada Mbah Wali Sengojo dengan Sebutan Ki Ageng Natas Angin. Karena karomah beliau bisa terbang di atas angin.
Bukannya takut akan kekalahan, melainkan menghindari pertarungan. Karena, beliau sadar, yang beliau lawan tidak lain adalah sahabat karibnya. Semisal salah satu ada yang kalah dan terluka, bahkan sampai meninggal, yang jelas akan timbul rasa penyesalan di antara keduanya. Ki Ageng wuluh pun masih tetap mengejarnya, dan pertarungan masih berlanjut, sehingga pada akhirnya salah satu dari beliau berdua ada yang terluka parah. Tidak lain adalah, Ki Ageng Wuluh, karena terkena sabetan keris pada bagian perutnya. Luka tersebut terlalu serius, sehingga Ki Ageng Wuluh meregang nyawa dan meninggaldi makamkan pada suatu tempat. Yang sekarang menjadi komplek pemakaman Umum di dusun Jatisari, Desa Gedanganak Ungaran Timur. Lebih Tepatnya, makam tersebut berada di sisi selatan Gardu Induk PLN.
Dan penyesalan itu terjadi Pada Mbah Wali Sengojo. Dengan kebiasaan beliau setiap harinya, kondisi penyesalan berangsur hilang. Di Usianya yang sudah tua, beliau meninggal dan di makamkan di atas puncak gunung. Lokasinya berada di Dusun Gedanganak Krajan, Desa Gedanganak, Kecamatan Ungaran timur. Kommplek Makam beliau, berada di tengah tengah perkampungan. Makam Mbah Wali Sengojo, sudah tergambar pada peta belanda terbitan tahun 1909.
Pahatan Nisan Ki Ageng Tanjung, Syech Dzakir, Mbah Wali Sengojo atau Ki Ageng Natas Angin |
Saya jabarkan lewat nama terlebih dahulu
Sebutan untuk Ki Ageng Tanjung, merupakan nama sebuah Gelar, yang secara sah di berikan atau di sematkan kepada seseorang. Yang benar benar memiliki jasa di bidang sistem pemerintahan. Gelar tersebut biasanya, di sematkan dari Raja yang memimpinnya, kepada orang yang berjasa kala itu.
Istialah Ki Ageng, sebenarnya memiliki unsur kesamaan. Hanya saja, penyebutannya yang berbeda. Kalimat Ki, dengan Ageng, tidak beda jauh. Ki memiliki Arti sosok orang yang di tuakan, karena tingkatan olah sepiritualnya. Dalam Arti kalimat sepiritual adalah, salah seorang yang benar benar mendalami ajaran Agama yang di anutnya. Saya disini berani menyatakan bahwa, Ki Ageng Tanjung merupakan tokoh Alim Ulama yang bukan kaleng kaleng. Benar benar tokoh ulama jawa dari utara.
Ageng merupakah sosok orang yang di tuakan, di bidang tata negara, sebagai seorang Pejabat Keraton, dan seorang tokoh pemimpin wilayah yang setingkat dengan Kelurahan.
Jadi, pada dasarnya, Ki Ageng adalah asli orang Jawa, beliau sebagai tokoh Pemimpin, termasuk tokoh Alim Ulama, yang sangat di hormati dan di segani pada waktu itu.
Tanjung bukan nama aslinya, merupakan penamaan gelar juga.
oke, Baik, akan saya kupas arti Tanjung yang sebenarnya.
Tanjung merupakan jenis tanaman, memiliki bunga yang sangat harum atau wangi. Bunga tanjung biasanya di gemari oleh para Bangsawan bangsawan Keraton maupun Bangsawan dari Kadipaten. Bunga tanjung banyak sekali di jumpai dalam lingkup komplek Keraton Kasepuhan Jogjakarta dan Keraton Kasepuhan Surakarta Hadiningrat.
Sumber literasi Keraton.id menyatakan, Vegetasi memiliki peranan penting dalam membentuk Kota Kerajaan. Peran tersebut di tunjukan melalui penanaman Vegetasi khusus dalam mendukung filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Yang artinya, Dari Mana Asalmu dan Mau Ke mana setelah itu.
Dengan analisa saya pribadi, kenapa seorang Sultan atau Raja menyematkan gelar kepada pepunden kita.
Tokoh yang dimakamkan di Gunung Sedrojog memiliki peranan penting di bidang sistim pemerintahan. Beliau mampu mengharumkan nama Negara atau Keraton yang jadi pundennya. Dengan melaksanakan setiap amanat yang di embannya, beliau mampu melaksanakanya dengan baik dan benar. Maka dari itu, sang Sultan Atau Raja, menyematkan Gelar tersebut dengan menggunakan Nama tanaman berupa Bunga Tanjung. Sudah di sebutkan di atas kan, peranan bunga tanjung ditanam di dalam lingkup keraton maupun kerajaan.
Ki Ageng Tanjung memiliki Arti yang sangat luas dan membanggakan, Orang Yang di tuakan, sebagai Pemimpin yang arif dan bijaksana, Namanya harum dengan karakter sifatnya.
Mungkin ada pertanyaan, Lah jenengane Asline sopo bro.
Begini Gaes, Nama tokoh yang asli, biasanya tidak mau di sebutkan. Tau kan, masa itu rawan sekali pemberontakan dan banyak sekali tragedi di luar kehendak. Makanya, nama gelar biasanya lebih termashur dari pada nama aslinya.
Nah, sekarang saya akan berusaha memberikan tentang informasi yang saya dapat dari kajian yang saya lakukan.
Jika kita perhatikan nisan makam Ki Ageng Tanjung, berbahan baku dari kayu. Di pahat dengan keindahaan yang menggambarkan tentang kearifan lokal Nusantara. Nisan tersebut memiliki konstruksi Jirat dari lembaran kayu jati, yang memiliki ukuran ketebalan kisaran 30 cm. Nisan dan jirat yang menggunakan bahan kayu jati sudah populer sejak abad ke 19 masehi atau setara dengan tahun 1800an. Kalau saya pribadi menyebutnya, langgam atau pahatan nisan tersebut merupakan Pakubuwono Pantura, Nisan Sepuh tahun 1800an.
Kehidupan Ki Ageng Tanjung atau sepak terjang Ki Ageng Tanjung terjadi pasca Pecahnya Mataram Islam tahun 1755. Yang terkenal dengan perjanjian Giyanti, Pisahnya antara Surakarta dan Jogjakarta, hingga sampai sekarang. Mungkin jika di tarik mundur, beliau lahir Pra Perjanjian Giyanti. Saya tidak berani menyebutkan angka tahunnya, saya hanya berani menyebutkan kejadian terpentingnya saja.
Sekarang kita bahas, dari mana asalnya Ki Ageng Tanjung tersebut
Alasan Pertama.....
Jika dalam cerita menyebutkan, Ki Ageng Tanjung dari Jogjakarta, dan beliau adalah murid Kanjeng Sunan Gunung Jati. Berarti, beliau pernah Hidup Seera dengan Wali Songo. Yang artinya, Ki Ageng Tanjung pernah hidup pada masa pemerintahan Sultan Fattah atau Raden Fattah. Padahal, Raden Fattah memimpin Kerajaan Demak pada tahun 1478 selisih 3 tahun dengan berdirinya Kerajaan Demak. Sedangkan, penjelasan di atas, sudah saya sebutkan bahwa, Sepak terjang Ki Ageng Tanjung Pasca perjanjian Giyanti tahun 1755 masehi. Saya Perkiraan, beliau wafat pada tahun 1790an. Dengan Pahatan Nisan, menunjukan langgam pakubuwono pantura 1800an masa peralihan. Berarti, Ki Ageng Tanjung tidak pernah memiliki sejarah yang berkaitan dengan Kerajaan Demak. Bahkan tidak ada sangkut pawutnya dengan Sejarah Wali Songo. Jika kita hitung Selisih waktu, perhitungan masa di antara keduanya, antara Kerajaan Demak dengan Pakubuwono, kisaran 322 tahun. Jadi tidak mungkin jika, Ki Ageng Tanjung memiliki usia di atas 322 tahun. Karena harus melewati masa kekuasaan yang selalu berganti. Masa Keemasan Kerajaan Demak, Masa Keemasan Kerajaan Pajang, masa keemasan Kerajaan Mataram Islam.
Nisan Langgam Demak 1500an |
Komentar
Posting Komentar