MAHAKARYA YANG LUAR BIASA

ADA DI SINI, JEJAK PERADABAN HINDU KLASIC BEDONO, JAMBU, SEMARANG

Bedono merupakan salah satu Desa di Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah Indonesia. yang berada 10 km diantara Ambarawa dan Magelang. Terletak pada ketinggian 711 mdpl di atas permukaan air laut. Desa ini termasuk tempat yang memiliki kenangan masa  lalu yang bersejarah, di antaranya sejarah masa klasic yang menyisakan tinggalan arkeologi berupa situs cagar budaya sisa bangunan candi, jejak masa kolonial berupa bangunan stasiun dan jalur rel kereta api yang menghubungkan semarang ke jogjakarta, sekaligus tempat yang menjadi saksi bisu tragedi pertempuran Ambarawa pada tahun 1945, yang melibatkan tentara inggris, sekutu dan para pejuang indonesia.

Dan untuk kesempatan kali ini, saya tidak akan membahas tentang pertempuran Ambarawa maupun jejak kolonial pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Untuk bahasan kelanjutan jejak kolonial, berupa bangunan Stasiun Ambarawa dan stasiun Tuntang berlanjut setelah bahasan tentang sisa bangunan candi yang berada di Desa Bedono.

Leluhur membuat bangunan candi, pada tempat yang benar benar sudah di pilihnya. Yang jelas, pembuatan bangunan candi pada kontur tanah yang subur dan dekat dengan sumber mata air. Bahkan tidak harus menggunakan material batu saja. Jika memang tanah yang di pilih tidak ada material yang di maksud, maka akan menggunakan tanah liat yang di bentuk sedemikian rupa, lalu di bakar dengan suhu yang sangat tinggi, untuk di dijadikan bahan bangunannya, batu bata merah kuno atau sering di sebut dengan Banon.

Sama halnya dengan candi yang berada di desa bedono, untuk pemilihan tanah yang tepat dan sangat mudah di temukan material bebatuan. Menurut penelitian kecil yang saya saya lakukan, bangunan candi di desa Bedono sangat unik dalam segi bangunan mau pun materialnya. Bentuk bangunan candi yang tidak pada umumnya dan jenis materialnya pun ada tiga jenis. Yang pertama, bangunan candi tanpa atap dan yangke dua, material batuan yang di gunakan berbeda beda, ada batuan jenis andesit, batu sedimen dan batu bata merah atau banon.

Komplek Candi Beodono

Menurut sumber dari kemdikbud.go.id

Candi berasal dari salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut yaitu Candika. Dalam mitologi Hindu Kuno, Dewi Durga sebagai dewi maut yang di hubungkan dengan Kematian. Jadi candi adalah sebuah bangunan untuk memuliakan orang yang telah meninggal. Di kususkan untuk para Raja dan orang orang terkemuka. Ddalam arti, bukan orang yang meninggal dikubur dalam candi. Melainkan benda yang dinamakan peripih dan anggap sebagai lambang zat zat jasmaniah dari sang raja yang telah kembali kepada dewa penitisnya. Sedangkan mayat dari seorang raja tersebut dibakar dalam sebuah upacara ritual, dan abu tersebut dihanyutkan ke laut. Dalam serangkaian upacara untuk menyempurnakan roh. Maka pada akhirnya setelah lepas dari alam kemanusiaan dan menjadi dewa. Lalu di dirikan bangunan suci untuk menyimpan perih dan selanjutnya diletakan didalam dasar bangunan. Bangunan inilah yang kemudian di sebut sebut dengan bangunan candi.

Sumber lain dari seorang Profesor. Dr. R. Soekmono menambahi, dalam perkembangan candi tidak hanya dibangun oleh penganut agama hindu saja, namun juga dibangun oleh penganut ajaran Buddha. Dalam pembangunan dan tujuan pendirian candi terdapat perbedaan dengan candi agama hindu. Candi candi agama buddha hanya bermaksud sebagai tempat pemujaan dewa, serta dihubungkan dengan kemuliaan buddha seperti adanya bangunan stupa.

Unsur penting bangunan candi, juga melambangkan alam semesta dengan tiga bagiannya: 

Kaki candi sebagai lambang alam bawah tempat manusia hidup, tubuh candi merupakan alam antara tempat manusia telah meninggalkan keduniaiwiannya dan dalam keadaan suci menemui dewanya. Sedangkan atap candi atau puncak bangunan candi, sebagai tempat para dewa berada, yaitu puncak gunung mahameru. Maka dari itu, bangunan candi juga disebutkan sebagai replika gunung mahameru. Oleh sebab itu, bangunan candi diperkaya dengan hiasan, ukiran, atau pola pola yang disesuaikan dengan alam gunung, seperti bunga teratai, binatang binatang ajaib, dewa dewi, bidadari, hiasan flora dan lain sebagainya.

Dalam keyakinan buddha dikenal dengan sebutan Dyani Buddha, Manusia Buddha, dan dyani Bodisattwa. Ketiganya ini dalam bangunan candi pada umumnya dilambangkan dalam bentuk arca buddha dalam bentuk kesederhanaannya, yang masing masing karakternya, umatnya di simbolkan dalam sikap tangan ( mudra ) sebagai ajakan kemuliaan. 


Komplek Candi Beodono

Mengenahi bangunan candi yang berada didesa bedono, sisa bangunan candi yang tergolong sangat unik menurut pribadi saya. Jika pada umumnya, bangunan candi  yang sudah berdiri lengkap, material yang di gunakan hanya satu jenis saja. Selebihnya menggunakan dua jenis material untuk membangun candi tersebut, antara batu andesit dan banon atau sebalikannya.

Contoh, candi sewu yang berada di komplek Prambanan, di bangun menggunakan alas dari banon dan konstruksi bangunannya menggunakan batuan andesit. Ada juga yang sebaliknya, bangunan candi yang sudah runtuh dan di temukan kembali, dibangun menggunakan bahan material banon, bagian alas dasar paling bawah menggunakan batuan andesit. Semua itu, berdasarkan kontur tanah yang di pilih untuk berdirinya bangunan candi.

Untuk keunikan bangunan candi yang berada didesa bedono, beberapa komponen menggunakan tiga material sekaligus, dalam arti ada tahapan dan tingktannya.

Untuk tahapan pertama, lantai dasar paling bawah, sebelum diberdirikannya sebuah bangunan, terdapat alas bagian dasar yang  menggunakan serangkaian material bata merah kuno atau banon, antara berapa lapisnya belum diketahui.

Setelah alas dasar, di lanjutkan dengan membangunan kaki candi yang menggunakan material batu sedimen. Dan, material batuan jenis ini, sangat rentan terhadap cuaca dan rentan terhdap benda tumpul.

Untuk tahap ketiga, menggunakan meterial batu andesit, dimana batu andesit tersebut tergolong material paling keras di antara material materil lainnya.

Untuk keunikan berikutnya adalah, bangunan candi yang berada di desa bedono tidak sama dengan konstruksi banguna candi pada umumnya. Bangunan candi tersebut memiliki kesamaan dengan bangunan candi kimpulan yang berada di dalam fakultas UII di Jogja. Yang tidak memiliki atap dan komponen penghias lainnya seperti kemuncak dan mercu., hanya banguna berbentuk punden dengan satu teras saja.

Kenapa demikian, empat kali saya blusukan ke lokasi tersebut, sekalipun belum pernah menjumpai komponen kemuncak maupun mercu. Yaitu dua jenis komponen penghias bagian atap Candi. Bahkan sampai eskavasi yang diadakan oleh Tim TACB bersama Dinas Pekerjaan Umum, dengan adanya keterkait pelebaran jalan penghubung dua daerah yaitu, Kecamatan jambu dan Kecamatan Sumowono. Saat penggalian tanah untuk vondasi bahu jalan, pekerja proyek tidak sengaja menemukan batuan kotak berpola, dan masih membentuk alur saling berkaitan.

Tepatnya Pada Tanggal 12 November 2019, eskavasi itu di lakukan, dan hanya menemukan setruktur bagian bawah saja dan tidak ada komponen terpenting  lainnya. Lanjut, setelah ada kejadian pohon Randu Alas tumbang, eskavasi tersebut di laksanakan lagi. Ternyata, terdapat struktur bangun candi di bawah bekas akar pohon tersebut.

Artinya, bangunan candi yang berada di desa bedono, berdiri tidak seperti bangunan candi pada umumnya, tanpa badan dan atap candi.


Komplek Candi Beodono

Bagian terpenting, yang dapat kita lihat sampai saat ini, dari bangunan candi tersebut adalah dua buah yoni. Satu yoni memiliki ukuran besar, dan lengkap dengan penghias Kura kura dan Naga Kobra di bawah ceratnya. Kondisi yoni tersebut masih terlihat sangat istimewa, belum ada unsur fandalis atau kerusakan yang di sebabkan oleh faktor alam. Bahan yang digunakan untuk material Yoni adalah batuan jenis andesit. Batuan andesit di dominasi untuk material bangunan candi di daerah magelang, klaten, dan sleman.

Kedua yoni dengan ukuran kecil, bahan material yang di gunakan untuk membuat yoni tersebut adalah batuan sedimen. Jenis batuan tersebut sangat rentan terhadap benda tumpul dan cuaca.


Komplek Candi Beodono

Yoni, merupakan simbul representasi dewa dewa pada masa itu, benda ini di gunakan sebagai sarana pemujaan yang pernah di ciptakan. Buah karya dari tangan leluhur nusantara di masa itu. Buah karya yang menunjukan suatu kewibawaan, kejeniusan dan kemandirian di dalam kehidupan suatu peradaban masa lalu.

Sering di sebut dengan sebutan yoni, yang seharusnya memiliki pasangan berupa lingga. Karena lingga yoni merupakan simbul trimurti dalam mitologi hindu kuno.
Selain di gambarkan sebagai wujud antrophomorfik, Siwa juga digambarkan dalam wujud an-iconic sebagai lingga. Pada dasarnya lingga adalah pilar cahaya ( the colmn of light ), yang merupakan simbul benih dari segala sesuatu yang ada didalam semesta ini berasal. Lingga seperti ini di sebut dengan Joytrilingga. Siwa sendiri merepresentasikan dirinya kedalam wujud pilar api mitologi Linggotbhawamurti.

Sebagai simbul organ maskulin, lingga mengandung energi pencipta. Akan tetapi, energi tersebut akan berfungsi apabila disatukan dengan energi shakti, yang di disimbulkan dalam wujud Yoni. Untuk memberikan kekuatan bagi energi penciptaan tersebut. Dengan demikian, penyatuan antara lingga sebagai organ maskulin dengan yoni yang merupakan simbul organ feminin akan menghasilkan energi penciptanya, yang merupakan dasar dari semua pencipta.

Penggambaran Lingga yoni sebagai simbul siwa dan saktinya, banyak di jumpai di garbhagreha candi untuk pemuja siwa, menggantikan siwa itu sendiri. Candi candi periode jawa tengah kuno yang garbhagrehanya di tempati lingga yoni misalnya candi gunung wukir, candi sambisari dan candi ijo.

Komplek Candi Beodono

Yoni pada umumnya berbentuk kotak bujur sangkar, memiliki dua penampang yaitu, penampang bawah dan penampang atas. Penampang bawah disimbolkan sebagai dewa Brahma, predikatnya sebagai dewa pencipta. Sedangkan penampang atas di simbulkan sebagai dewa wisnu, dengan predikatnya sebagai dewa pemelihara.

Penampang bagian atas yoni memiliki lubang kotak persegi berbentuk bujur sangkar, yang di fungsikan sebagai pengunci lingga. Bagian penampang atas terdapat cekungan berbentuk bujur sangkar mengikuti bentuk yoni itu sendiri. Dengan alur yang bertumpu pada sumbu tengah bagian yoni yang dihubungkan ke bagian lubang ujung cerat. 

Komplek Candi Beodono

Pada bagian bawah cerat yoni tedapat hiasan dua ekor fauna berupa kura kura dan naga kobra. Di mana kura kura dalam posisi di atas kepala naga kobra. Dan diatas punggung kura kura menyangga cerat yoni. Kedua fauna tersebut memiliki alur ceritanya yang kental dengan perebutan tirta amarta di dalam samudera manthana. Antara kura kura sebagai jelmaan Dewa Wisnu dengan nama Kurma, yang merebutkan Tirta Amarta dengan Naga Kobra atau yang di sebut dengan Naga Basuki.

Kurma adalah awatara ( Jelmaan ) kedua dari dewa Wisnu yang berwujud kura kura raksasa. Awatara ini muncul pada saat satyayuga. Merebut Kitab Adiparwa. Kura kura terebut bernama akupa. Menurut berbagai kitab purana, wisnu mengambil wujud seekor kura kura ( Kurma ) dan mengapung di lautan susu ( kserasagara atau Kserarnawa ).

Didasar laut tersebut, konon terdapat harta karun dan tirta amartha yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para dewa dan asura berlomba lomba untuk mendapatkanya. Untuk mengaduk lautan tersebut, mereka membutuhkandan sebuah gunung yang bernama Mandara Giri. Yang digunakan sebagai alat untuk mengaduk isi lautan tersebut. Para dewa dan para asura mengikat gunung mandara giri dengan menggunakan lilitan tubuh dari Naga Basuki lalu memutar gunung tersebut.  Kurma menopang dasar gunung mandara giri dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat keatas. Setelah sekian lama pengadukan lautan, tirtha amartha tersebut berhasil didapatkan dan dewa wisnu pun mengambil alihnya.

Dikisahkan tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran mandara giri yang terdapatat dalamm kitab adiparwa. Dikisahkan pada zaman satyayuga, para dewa dan asura ( rakshhasa ) bersidang di puncak gunung Mahameru, untuk mencari cara supaya mendapatkan tirtha amartha. Yaitu, air suci yang dapat mrmbuat hidup menjadi abadi ketika meminumnya. Sang Hyang Narayana ( Wisnu ) berkata  Kalau kalian menghendaki tirtha amartha tersebut, aduklah lautan ksera ( Kserasagara ), sebab di dalam lautan itu terdapat tirtha amartha.

Terdapat sebuah gunung bernama mandara ( Mandaragiri ) di sangka dwipa ( Pulau sangka ). Ketinggian gunung tersebut mencapai sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat ijin dari dewa samudera, gunung mandara dijatuhkan ke laut ksera sebagai tongkat atau alat untuk mengaduk lautan tersebut. Seekor kura kura atau kurma raksasha bernama akupa, yang di ceritakan sebagai jelmaan wisnu, menjadi menjadikan cangkangnya sebagai penopang dasar pangkal gunung tersebut. Dia sang akupa sudah menahan gunung mandara supaya tidak tenggelam ke dasar lautan.

Naga basuki dipergunakan sebagai tali untuk membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, supaya gunung mandara tidak melambung ke atas. Setelah siap, para dewa dan asura mulai memutar gunung mandara dengan menggunakan naga basuki sebagai talinya. Para dewa memegang ekornya, sedangkan para asura memegang kepalanya. Mereka saling berjuang dengan hebatnya untuk mendapatkan tirtha amartha, sehingga laut bergemuruh dan menciptakan gelombang yang dahsyat. Gunung mandara menyala, naga basuki menyemburkan bisa yang membuat asura kepanasan. Lalu dewa indra memanggil awan mendung dan menciptakan hujan yang kemudian mengguyur para asura. Lemak segala binatang dari gunung mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan ksera mengental, pemutaran gunung Mandara pun semakin di perhebat. Saat laut di aduk, racun yang mematikan yang disebut dengan hala hala menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala macam makhluk hidup. Dewa siwa kemudian meminumnya, sehingga membuat lehernya menjadi biru dan disebut dengan Nilakanta. Dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti, Nila merupakan warna biru, sedangkan Kantha artinya tenggorokan.

Setelah itu, berbagai dewa dewi, binatang, dan apsara apsari, kaum bidara bidari dari kayangan, Kostuba merupakan permata yang paling berharga dunia. Uccaiswara kuda para dewa, Kalphawreksa yaitu pohon yang dapat mengabulkan keinginan, Kamandhenu sapi pertama dan ibu dari segala sapi. Airawata kendaraan dewa indra, Laksmi dewi keberuntungan dan kemakmuran. Akhirya keluarlah Dhawantari membawa kendi besi berisi tirtha amartha. Karena para dewa sudah banyak yang mendapatkan bagian, sementara para asura tidak dapat bagian sedikitpun. Maka, para asura ingin supaya tirtha amartha menjadi milik mereka. Dengan berbagai macam dan berbagai cara dari fihak asura. Akhirnya, tirtha amartha berada di pihak para asura. Dan Gunung mandara di kembalikan ketempat asalnya, yaitu sangka dwipa.

Melihat tirtha amartha di tangan para asura, dewa wisnu memikirkan bagaimana cara merebutnya kembali. Akhirnya dewa wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita memiliki paras yang sangat cantik bernama Mohini.  Wanita cantik tersebut mendekati para asura. Dan mereka sangat senang dan terpikat atas kecantikan paras dari Mohini, yang merupakan jelmaan dari dewa wisnu. Karena tidak sadar akibat dari tipudaya, mereka menyerahkan tirtha amertha kepada Mohini.

Setelah mendapatkan tirta amertha, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya menjadi dewa wisnu kembali. Melihat akan hal itu, para asura menjadi marah dan murka. Kemudian terjdilah perang antara dewa dengan asura. Pertempuran terjadi dengan sangat lama, karena di antara keduanya, sama sama sangat sakti. Agar pertempuran dapat segera di akhiri, dewa wisnu mengeluarkan senjata cakra yang mampu menyambar nyambar  para asura. Kemudian mereka lari tunggang langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amartha berada di fihak para dewa. 

Para dewa kemudian terbang ke wisnu loka, yaitu kediaman atau singgasana dewa wisnu. Dan disana mereka meminum tirta amartha dan hidup di dalam keabadian. Seorang asura yang merupakan anak dari Wipracitti dengan sang singhika mengetahui akan hal itu. Kemudian mereka mengubah wujudnya menjadi dewa dan turut serta meminum tirta amartha tersebut. Hal itu di ketahui Dewa Aditya dan Dewa Chandra. Kemudian ke dua dewa tersebut melaporkan kejadian itu kepada dewa wisnu. Kemudian Dewa Wisnu pun menjadi murka dan marah, mendengarkan laporan mengenahi penyaaran asura, yang ikut masuk dan berkupul di singgasananya. Dewa Wisnu mengeluarkan senjat cakra dan memenggal leher sang asura. Tepat ketika asura meminum tirtha amertha baru mencapai tenggorokannya dan belum sempat tertelan hingga ke perutnya. Sang Wipracitti dengan Sang Singhika marah, ketika puteranya terpenggal kepalanya akibat senjata cakra milik dewa wisnu memenggal kepalanya. Kemarahan itu justru di tujukan kepada kedua dewa yaitu dewa aditya dan dewa candra. Keua orang tua dari sura tersebut mengucapkan sumpah serapahnya. Akan memakan mereka pada pertengahan bulan. Sehingga terjadilah fenomena gerhana bulan dan Gerhana matahari.

sumber Sanyas Dharma

Nah itulah Sepenggal cerita tentang perebutan tirtha amartha, yang terpahat dalam rangkaian hiasan yg terdapat pada bagian cerat bawah yoni berupa naga basuki dan kura kura sebagai awatara wisnu. 

Komplek Candi Bedono

Untuk berdirinya Candi tersebut, belum di ketahui berapa jumlah bangunannya. Dugaan sementara, bangunan candi ini, hanya berdiri tanpa bangunan candi perwara atau pun bangunan candi apit. Karena kuat dugaan, tentang keberadaan perangkat lainya seperti, Arca Nandi maupun Bale pita atau lapik sajen, sebagai pendukung berdirinya sebuah bangunan lain belum di kethui keberadaanya. Jadi, untuk dugaan sementara, banguna candi tersebut merupka bangunan candi induk, dengan bukti keberadaan sebuah Yoni yang berukuran besar walaupun tanpa pasangannya berupa Lingga.

Apakah sudah dapat di pastikan, bangunan tersebut untuk pemujaan apa dan di peruntukan dewa siapa .. ???

Dengan beberapa komponen terpenting sebagai bukti, yang sudah teridentifikasi bahwa, bangunan candi tersebut di peruntukan sebagai pemuja dewa siwa, sekte yang di anut oleh penduduk sekitar, pada masa itu adalah sekte siwa.

Untuk mengetahui tentang kerajaan apa, dan siapa yng menjadi raja kala itu, apakah sudah di ketahui .. ???

Jadi, untuk pernyataan tentang masa, kerajaan, kepemimpinan, angka  tahun, belum bisa memastikan secara keseluruhannya Kenapa demikian .. ???
Karena informasi tentang temuan prasasti atau semacam inscriptie, yang memberikan keterangan tentang yang di maksud diatas, sampai sekarang belum dapat di ketahui keberadaannya. Mungkin masih terkubur di dalam tanah atau mungkin sudah di amankan oleh orang orang sebelum masa perang kemerdekaan. Karena mengingat, sebelum perang kemerdekaan atau masa pemerintahan hindia belanda, kisaran tahun 1830 an belanda sudah mulai melakukan perjalanan dengan catatan notulen yg mengidentifikasi tentang bangunan bangunan candi yang dilewatinya. Mungkin juga, setelah perjalanan domis, ada yang mengadakan penelitian lanjutan, dan mungkin temuan prasasti sudah di amankan ke usium musium pada masa itu


Komplek Candi Beodono


Komplek Candi Beodono

Eskavasi yang tertunda

Begitu banyak kisah perjalanan leluhur kita, yang di torehkan lewat pesan moral yang terpahat pada bangunan candi. Semacam reief yang sengaja di pahat pada sebuah media batu, yang dianggap mampu menyampaikan pesan tersebut, karena ketahananya menempuh waktu ratusan bahkan ribuan tahun, hingga sapai ke generasi masa sekarang ini. Catatan terpenting, kira kira, mampukah kita untuk mengungkap, lalu mempelajarinya. Ingat, pesan moral yang baik, tidak berlaku pada satu keyakinan. Pesan tersebut juga tidak di peruntukan oleh satu keyakinan saja. Melainkan, semua keyakinan berhak ikut mempelajari pesan bermoral yang baik, yang sekiranya bermanfaat untuk diri kita dan orang banyak, dan tidak merugikan.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU LUMPANG DAN UNFINIS YONI KENDALI SODO

SITUS CANDI DI MAKAM WALIULLOH KHASAN MUNADI

MAKAM WALIULLOH SYECH SUDJONO DAN KE DUA SAHABATNYA