CANDI SADON

 CANDI SADON JAWA TIMURAN

Keberangkatan kita awali dari ungaran, merupakan awal pertama kali kita akan menginjakan kaki ke Provinsi Jawa Timur. Keberangkatan kita tetap menggunakan petunjuk dari google map. Walaupun penuh perjuangan, dimana saat itu, perjalanan kita terhambat bukan dari arus lalulintas kendaraan, Melainkan dari sinyal GPS, yang kadang hilang kadang muncul. Kami pun tetap berjalan megikuti petunjuk arah yang berada di pinggiran jalan. Lumayan, estimasi perjalanan 4 jam 48 menit. Lumayan capek, tangan pegel dan kemeng kemeng. Awak siji loro kabeh. Akan tetapi, semua itu terbayar dengan pikiran fres, penglihatan mulai tajam kembali, setelah kita sampai dilokasi dan melihat langsung kearifan lokal nusantara berada dihadapan saya. Dengan alasan, baru kali ini saya melihat dan terpukau secara langsung bangunan candi dengan langgam Jawa Timuran. 

Candi Sadon

Peninggalan Kebudayaan yang berada di Indonesia sangat banyak jumlah dan macanya. Salah satu bangunan peninggalan jaman sejarah kerajaan berbentuk bangunan candi. Begitu juga bangunan candi dibagi menjadi dua karakter, antara lain Candi Hindu dan Candi Buddha. 

Fungsi utama dari Candi sendiriudah mulai berubah seiring dengan perkembangan zamannya. Yang semula berfungsi sebagai tempat pemujaan atau semua hal yang berkaitan dengan religius, kini fungsi tersebut menjadi fungsi yang ke dua yaitu tempat rekreasi atau wisata.

Kebanyakan candi candi yang di temukan di Indonesia tidak di ketahui nama aslinya, dan biasanya hanya menyebutkan nama baru dimana candi tersebut di temukan, hingga di jadikan toponimi suatu derah. Itupun dari kesepakatan dari arkeolog. Dan cani candi yang sudah diketahui oleh masyarakat sejak dulu. Kadang kala di sertai dengan legenda atau cerita rakyat yang terkait atau menonjol dengan sisi pandang bangunannya.

Di tambahi lagi dengan temuan temuan prasasti atau di sebutkan dalam naskah naskah kuno yang di duga merujuk kepada bangunan Candi tersebut.

Candi Sadon adalah Suatu candi yang terletak di Dusun Sadon, Desa Cepoko, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan. Tepatnya ±40 km sebelah timur Dusun Pandak dengan Dusun Sadon (Jalan Raya Magetan-Panekan). Walaupun nama candi tersebut adalah candi sadon, namun masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan nama Candi Reog. Karena di reruntuhan Candi Sadon terdapat Kalamakara yaitu sebuah arca raksasa yang wajahnya mirip dengan kepala harimau pada ‘dhadhakmerak’. Dhadhakmerak adalah topeng kepala harimau dengan hiasan bulu merak yang disusun rapi disekelilingnya. Topeng dhadhak merak yang berat keseluruhanya antara 30-40 kg biasanya digunakan oleh penari Singobarong dalam Kesenian Reog.

Makara Candi Sadon Ataun Naga


Fragmen Naga Candi Sadon

Dalam mitologi setempat, Fragmen Naga Candi Sadon dikenal dengan sebutan Nogotatmolo. Konon Naga tersebut berjumlah 2 atau satu pasang yang berada di samping kanan dan kiri pintu masuk kebangunan candi. Namun, fragmen yang satu dipindah ke Pendopo Kabupaten Magetan. Dan Fragmen Naga yang masih tertinggal di Candi Sadon di duga berjenis kelamin betina.


Candi Sadon

Pada tahun 1969 yang dipelopori oleh Bapak Sutaryono ketika saat itu menjabat sebagai Kepala Pembinaan Kebudayaan Kabupataen Magetan, diadakan kembali penataan batu-batuan reruntuhan Candi Sadon. Diantara reruntuhan peninggalan bersejarah tersebut terdapat arca Kalamakara, Arca Naga, Batu bertulis, Tantri( potongan cerita binatang ), Umpak, Yoni, Antefik(bagian sudut candi), dan arca-arca kecil. Tempat ini dinamakan Candi Sadon, karena terletak di Dusun Sadon, Desa Cepoko. Nama Sadon diambil dari kata SAD = Asad, DON = Padudon, menjadi ASADING PADUDON = yang artinya habisnya perselisihan atau peperangan.

Pendapat lain, Sadon berasal dari kata SADU an, SADU berarti tentram, Jadi SADUAN artinya Tempat yang tentram. Inskripsi pada Candi Sadon, berbunyi: 1. A-PA PA-KA-LA, SA DA PA KRA-MA, BA DA SRI-PA SA-BA-DA-HA-LA.
Prasasti dengan Huruf Kuadrat

Prasasti dengan Huruf Kuadrat


Ditinjau dari Paleografi inskripsi pada candi ini sama dengan inskripsi pada prasasti yang ditemukan di Desa Pledokan, Kediri, yaitu diperkirakan pada masa Kerajaan Kediri hurufnya berbentuk balok atau kuadrat. Dari keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Candi Sadon merupakan peninggalan zaman Kerajaan Kahuripan Prabu Airlangga, yang mempunyai keterkaitan dengan Kerajaan Kediri.


Kala Candi sadon

Dalam bangunan candi sadon, ada dua hal yang paling menarik bagi saya yaitu : 

1. Ukiran kala
2. Arca Naga yang berada di depan candi, yang berfungsi sebagai makara.

Kita akan mebahas tentang Kala

Kala atau relief kala pada bangunan candi sadon ada dua. Keberadaan kala tersebut saling membelakangi dan dengan pahatan yang sama. Pahatan atau relief kala merupakan bagian panel yang terdapat pada bagian ambang pintu bangunan candi. Kala juga memiliki mitologi bagi kepercayaan ajaran Hindu 

Dalam ajaran Agama Hindu, Kala adalah putera Dewa Siwa yaitu dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa sansekerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai Raksasha yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa. Dalam filsafat hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma. Apabila sudah waktunya seseorang meninggalkan dunia fana, maka pada saat itu pula Kala akan datang menjemputnya. Jika ada yang bersikeras ingin hidup lama dengan kemauan sendiri, maka ia akan dibinasakan oleh Kala. Maka dari itu, wajah Kala sangat menakutkan, bersifat memaksa semua orang. Kālá selain berarti waktu juga berarti hitam, bentuk feminimnya adalah Kālī. Dalam satuan waktu tradisional Hindu, satu kala adalah 144 detik.

Dalam kitab Kala Tatwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan dengan Dewi Uma di tepi laut, "air mani" Dewa Siwa menetes ke laut ketika melihat betis Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan, tetapi Sang Dewi menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahma dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi japa Mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang Rakhsasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan Dewi Uma adalah orangtuanya.

Sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala.

Untuk menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari "tumpek wayang" dan memakan orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari “tumpek wayang”. Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari “tumpek wayang”. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar.

Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa Kumara dikejarnya. Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.

Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang, jika sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang "sapu leger".


Kala Di Antara Dua Pria



Material Komponen Bangunan Candi Sadon



Antefiks suluran berbentuk kala

Dalam Cerita Wayang

Ketika Batara Guru dan istrinya, Dewi Uma terbang menjelajah dunia dengan mengendarai Lembu Andini, dalam perjalanannya karena terlena maka Batara Guru bersenggama dengan istrinya di atas kendaraan suci Lembu Andini, sehingga Dewi Uma hamil. Ketika pulang dan sampai di kahyangan Batara Guru kaget dan tersadar atas tindakannya melanggar larangan itu. Seketika itu Batara Guru marah pada dirinya dan Dewi Uma, dia menyumpah-nyumpah bahwa tindakan yang dilakukannya seperti perbuatan Buto bangsa Raksasha. Karena semua perkataannya mandi ( Bahasa Jawa atau menjadi kenyataan) maka seketika itu juga Dewi Uma yang sedang mengandung menjadi raksasa.


Batara Guru kemudian mengusirnya dari kahyangan Jongglingsalaka. dan menempati kawasan kahyangan baru yang disebut Gondomayit. Hingga pada akhirnya Dewi Uma yang berubah raksasa itu terkenal dengan sebutan Bathari Durga Setelah itu ia melahirkan anaknya, yang ternyata juga berwujud raksasa dan diberi nama Kala. Namun pada perkembangan selanjutnya Batara Kala justru menjadi suami Batari Durga, karena memang di dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Dari perkawinan mereka, dikaruniai seorang putra bernama Batara Dewasrani. Dewasrani mengalami cacat genetik akibat hubungan sedarah.


Seharusnya Dewasrani memiliki fisik raksasa seperti kedua orangtuanya, tetapi fisiknya terlahir tampan dan sempurna layaknya seorang dewa. Batara Kala dan Batari Durga selalu membuat onar di madyapada (bumi) karena ingin membalas dendam pada para dewa pimpinan Batara Guru. Batara Dewasrani selaku anak dari mereka juga menurunkan sifat kedua orangtuanya yang suka berbuat segelintir keonaran dan juga kekacauan.

Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu:

1. Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting

2. Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.

3. Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala.


Untuk menghindari jadi mangsa Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Namun, karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna Maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.

Indah

Menarik

Untuk di kupas

Mulai dari cerita rakyat, legenda, perjalanan sejarah, Mitos, yang mampu mengemas keanekaragaman Kearifan Lokal Nusantara. Hal demikianlah yang sebenarnya Mampu untuk melindung, biarkan masyarakat menjaga dengan kisah ceritanya. Antara ada dan tiada, antara tabu yang menderu





Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU LUMPANG DAN UNFINIS YONI KENDALI SODO

SITUS CANDI DI MAKAM WALIULLOH KHASAN MUNADI

MAKAM WALIULLOH SYECH SUDJONO DAN KE DUA SAHABATNYA