WALI MANGKUYUDHO, TUMENGGUNG MANGKUYUDO
TUMENGGUNG MANGKUYUDO
Nisan Kasepuhan Wali Mangkuyudo |
Masih di seputaran desa ketitang, kecamatan jumo, kabupaten temanggung. Jika kemarin kita membahas tentang keindahan di balik pahatan nisan sepuh komplek makam Wali Mangkuyudo, kita juga sudah membahas tentang Megah dan wibawanya bangunan Masjid Wali Mangkuyudo. Untuk kesempatan kali ini, kita akan mencoba membahas tentang sejarah Wali Mangkuyudo dari beberapa sumber yang terkait akan hal itu.
Sebelum membahas tentang sejarah Wali Mangkuyudo' saya akan menyatakan tentang kegiatan yang saya lakukan.
Saya pribadi bukanlah seorang pelajar pernah mengenyam pendidikan tinggi, apalagi bersekolah dalam bidang kesejarahan dan ilmu pendidikan yang membahas tentang adat budaya di indonesia. Saya hanya seorang pengagum sejarah dan tinggalan dari leluhur nusantara.
Di sini memulai mengupas tentang sejarah Wali Mangkuyudo dari beberapa sumber yang sekiranya menarik untuk di tampilkan.
Langsung saja
Yang pertama sumber ini berasal dari alamat Jejakmangkuyudo.blogspot.com
Sang penulis mengumpulkan data data termasuk mengumpulkan informasi dari buku yang berjudu " Babat Tanah Jawi ", balai pustaka 1932. Buku tersebut adalah hasil catatan dari pupuh pupuh babat tanah jawi yang di kumpulkan oleh belanda, yang masih dalam bentuk tembang. sang penulis menyampaikan tentang sejarah yang di bahas masih menggunakan huruf jawa kuno, yang kadang sasng penulis tidak bisa memahami. Dan babat ini membicarakan tentang Wongsocitro. ( Raden Tumenggung Mangkuyudo I ). Sama seperti saat mendapatkan fotocopian Babat Tanah jawi In Proza ( J.J Mainsma tahun 1847 ).
Penulis juga menerangkan tentang sosok Wali Mangkuyudo, dalam penyampaiannya wali mangkuyudo bukanlah seorang Religius atau penyebar agama islam. Berbeda dengan cerita rakyat yang berkembang ditelinga masyarakat. Yang menyatakan bahwa Wali Mangkuyudo di gambarkan sebagai seorang tokoh yang berjubah putih, dan memiliki tingkatan keilmuannya setara dengan walisongo.
Saya pribadi sependapat dengan sang penulis walaupun berbeda caranya, bagaimana mencari tau tentang siapakah sosok Wali Mangkuyudo sebenarnya.
Jika memang di akui, Wali Mangkuyudo adalah sosok alim ulama atau umaro, seharusnya bangunan makam dan pahatan nisan sudah dibuat ukiran khusus oleh abdi kinasih, santri atau para mursyidnya. Yang memberikan keterangan bahwa, beliau sosok alim ulama atau umaro penyebar agama islam, yang benar benar memiliki tingkatan keilmuan setara dengan Wali Songo. Karena, bangunan makam dan pahatan nisan adalah identitas penggambaran karakter sosok yang benar benar di akui kewaliannya. Jadi sosok Wali Mangkuyudo adalah seorang tokoh penting dalam sistim tata negara atau Abdi Negara pada masa Pemerintahan Mataram Islam.
Di belakang nanti kita jelaskan tentang perihal pahatan nisan dan bangunan jirat makam, yang bisa memberikan keterangan tentang Alim ulama atau umaro, atau pejabat pemerintahan.
Kita lanjutkan tentang sumber keterangan dari sang penulis lagi yang bersumber pada pupuh pupuh babad tanah jawi yang sudah di abadikan pada masa kolonialisme belanda.
Dalam babad tanah jawinya Mainsman di ceritakan bahwa Mangkuyudo I atau Ki Wongsocitro hanyalah orang biasa yang dihormati di kedu. Seperti dalam cuplikan naskah berbahasa jawa ini
Kala semanten ing kedhu tasih sanget resah, katah tiang begal, kecu, maling. Sak datengipun Raden Nerangkusumo, tiyang ting mriku katah kang sami teluk. Nunten wonten tiyang kedhu satunggal anomo Wongsocitro. Sowan sumejo, suwito ing Raden Nerangkusumo serto anakipun kekalih. Anama Ki Lembu kalian Ki Buang. Balanipun nkatah, pangabdianipun inggih sampun katampen. Ki Wongsocitro kedhawahan anguyuni tiyang ing kedhu sedaya. Inggih sami sampun suyud dateng Ki Wongsocitro. Raden Nerangkusumo nunten utusan ngaturi uningo ing sang Prabu, serto sampun kaparingan wangsulan mawi piyagem, kaparingaken dateng Ki Wongsocitro kaangkat asmo Tumenggung Mangkuyudo angerahaken tiyang kedhu sedoyo. Ki Lembu kalian Ki Buwang kapundhut ing sang Prabu kaabdekaken. Raden Nerangkusumo sareng sampun angsal pawartos bab nagari martawis, lajeng bidal wangsul dhateng tegal. Ki Tumenggung Mangkuyudo sak balanipun serto anak kekalihipun inggih sami andherek.
Kurang lebih dalam Babad Tanah Jawi Balai Pustaka yang berbentuk tembang Dhandhanggulo, diceritakan bagaimana Ki Wangsacitra / Wongsacitra 4/ Wongsocitro bisa mendapatkan kepangkatan / gelar Raden Tumenggung dan mendapatkan sebutan Mangkuyuda / Mangkuyudo.
Mangkuyudo adalah nama yang diberikan oleh Amangkurat Amral kepada Kyai Wongsocitro yang berasal dari Jumo (Kabupaten Temanggung), wilayah Kedhu, pada masa penumpasan pemberontakan Trunojoyo. Nama Mangkuyudo sendiri sudah disandang oleh seorang punggawa Trunojoyo yang berhasil menguasai ibukota Plered.
Sebagai gambaran sejarah, saat Trunojoyo memberontak dan menggalang kekuatan dari tanah brangwetan (Jawa Timur) dengan kekuatan pasukan Madura yang kuat, mereka berhasil menduduki ibukota Plered (ibukota Mataram Islam) pada zaman Amangkurat Agung. Menurut Babad Tanah Jawi, saat Plered dikepung, Amangkurat Agung melarikan diri. Raja lalim ini tak mendapatkan simpati dari para bangsawan. Dalam sebuah cerita, sebelum lari bersama anak-anaknya ke Tegal, diceritakan ia mengalami gangguan jiwa karena shock. Trunojoyo sendiri adalah salah satu menantunya.
Sepeninggal Amangkurat Agung, anak-anaknya berusaha merebut kembali ibukota yang telah dikuasai prajurit Trunojoyo. Pangeran Puger dengan menggalang kekuatan dari para bangsawan yang masih setia kepada kerajaan berhasil mengusirnya, kemudian mengangkat diri menjadi raja. Sementara kakaknya, Pangeran Adipati Anom yang merupakan putra mahkota, dengan bantuan bupati Tegal dan VOC mencoba mengambil kembali tahta.
Wongsocitro, anak Ki Ageng Muneng yang seorang pemuka desa di wilayah Kedhu (sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung) yang tinggal di Juma, dihubungi sanaknya dari keturunan Ki Ageng Karotangan dari Pagergunung. Kemudian bersedia bergabung dengan armada Amangkurat Amral untuk menghancurkan bala tentara Trunajaya.
Dalam buku Babad Tanah Jawi diceritakan bagaimana sepak terjang ki Wongsocitro yang telah diangkat menjadi Tumenggung Mangkuyudo. Walau ia terbunuh disaat penyerangan ke benteng Kediri, namun jasanya membuat Amangkurat Amral mengangkat kedua anaknya menjadi bupati wedana di Kedhu, menggantikan klan Karotangan yang selama ini duduk dipucuk pimpinan wilayah Kedhu. Anak pertamanya, Lembu diangkat menjadi Tumenggung Mangkuyudo II, menggantikan ayahnya. Sekaligus dinikahkan dengan salah satu adik Amangkurat Amral. Sementara adiknya, Buwang diangkat menjadi Tumenggung Notoyudo, menjadi wedana jaksa yang mengepalai separuh wilayah Kedhu. Kemungkinan istilah Bumi dan Bumija untuk menyebut wilayah kedhu timur dan barat muncul pada masa ini.
Dalam banyak tulisan, baik Babad maupun serat, dari kedua anak Kyai Wongsocitro inilah banyak tokoh penting dalam perkembangan kerajaan Mataram hingga turunannya dilahirkan. Misalnya pada zaman Pasca Perang Giyanti, dalam banyak serat maupun babad yang diceritakan oleh kalangan Mangkunegaran, dikisahkan Tumenggung Mangkuyudo menjadi negosiator bagi Pangeran Sambernyawa (Mangkunegoro I) dan Kasunanan. Mangkuyudo tersebut juga yang memberikan tanahnya untuk sebagai keraton Mangkunegoro. Mangkuyudo yang berjasa bagi Mangkunegoro tersebut juga akhirnya menjadi patih Kasunanan Solo dengan nama Adipati Sindurejo. Sementara, nama Tumenggung Notoyudo tidak lepas dari perkembangan Pakualaman.
Seperti yang terjadi pada makam tokoh-tokoh tersebut di Desa Ketitang, Juma, Temanggung. Segelintir orang, dengan menggunakan sumber tak jelas, menuliskan “MANGKUYUDO DARI DEMAK”. Seperti hendak mengaburkan sepak terjang sejarah Mangkuyudo yang pernah tertulis dalam banyak Babad dan Serat. Seperti hendak mengatakan bahwa hanya orang-orang dari Demak yang pantas disebut Wali dan adalah orang-orang suci. Bila memang dari Demak, apa sumbernya? Karena jelas dalam buku Bauwarna disebutkan bahwa Tumenggung Mangkuyudo adalah bupati Bumi (Kedhu sebelah) dan Tumenggung Notoyudo adalah bupati Bumijo (Kedhu sebelah). Tugas keduanya selain sebagai kepala pertanian diwilayah Kedhu untuk menyuplai bahan makanan istana juga sebagai kepala agama Islam dikedua wilayah tersebut.
Komentar
Posting Komentar