MAKAM TUMENGGUNG NITINEGORO


MAKAM TUMENGGUNG NITI NEGORO

Dalam rangka melaksanakan survei lokasi yang saya kunjungi , biasanya saya memilih tempat yang mengandung unsur jejak sejarah, entah itu masa clasik, masa colonial, punden atau petilasan yang di keramatkan dan makam makam yang di anggap sepuh atau tua.

Perjalanan saya kali ini akan membahas tentang makam salah seorang tokoh, yang konon katanya atau legenda rakyatnya, beliau adalah salah seorang yang pertama kali membuka Desa, tokoh tersebut terkenal dengan sebutan Tumenggung Nitinegoro.

Yang makamnya berada di

Dusun Kauman
Desa Gogodalem
Kecamatan Bancak
Kabupaten Semarang

Pintu Makam Tumenggung Nitinegoro

Berawal dari kisah Perang Diponegoro, Yang di sebut dengan perang Jawa atau De Java Oorlog pada tahun 1825 sampai 1830. Dengan tokoh " Raden Tumenggung Prawirodigdoyo "

Mengutip salah satu sumber dari rogobrantibandung.blogspot.com

Raden Tumenggung Prawirodikdoyo terlahir kurang lebih pada tahun 1780 sebagai anak kedua dari Raden Ngabehi Surotaruno III, merupakan masih keturunan dari ayah garis keenam dari 
" Ingkang Sinuhun Kanjeng Senopati Amangkurat Agung '' Keturunan dari Pangeran Notobroto I, Ibu garis keempat dari Ingkang Sinuhun Kanjeng Senopati Pakubuwono I ( Pangeran Puger ) dari Bendoro Pangeran Haryo Puruboyo ( lumajang ).

Raden Tumenggung Prawirodigdoyo dibesarkan didaerah Gagatan. Sejak usianya masih menginjak 8 tahun, Prawirodigdoyo kecil sudah memiliki keahlian khusus di bidang menunggang kuda. Gagatan merupakan dukuh di kaki gunung kendeng, terletak di tepi sungai ketoyan wonosegoro.

Pada tahun 1825 Perang Diponegoro pecah di tegalrejo magelang, hingga imbasnya sampai ke boyolali. Penjajahan Belanda kian hari kian menjadi jadi. Hal tersebut dinyatakan dalam buku De Java Oorlog jilid I halaman 362. Kegigihan K.R.T Prawirodigdoyo dan Ingkang Sinuhun Kanjeng Senopati Pakubuwono VI dalam menumpas penjajah belanda di gambarkan sebagai seseorang yang naik kuda baru di tangkap dari dalam hutan, dan terus di naiki sampai ke medan peperangan. 

Sedangkan Ingkang Sinuhun Kanjeng Senopati Pakubuwono VI di gambarkan seperti seekor harimau atau macan yang buas keluar dari sarangnya. Menerjang barisan terdepan tentara belanda. Namun, perlawanan tersebut tidak di pimpin oleh dua orang tokoh saja, dalam narasi di sebutkan yang membantu peperangan di boyolali melibatkan Kyai Singomancat Imam Rozi, Kyai Singolodro Umar Siddiq, Kyai Suhodho Som, Kyai Singoyudho. Pada tahun 1827 pertempuran pecah di Desa Klengkong, Kala itu dari fihak belanda di pimpin oleh Mayor Has, Kapitan Win dan Kapitan Regel dan Senopati senopati dari Mataram antara lain Bendoro Pangeran Haryo Murdaningrat, Bendoro Pangeran Haryo Hadiwinoto, Bendoro Pangeran Haryo Hadiwijoyo dan Raden tumenggung Nitinegoro.

Dalam narasi tersebut di terangkan bahwa, peperangan dari kedua belah pihak memiliki kekuatan yang sama atau imbang. Juga menyebutkan dalam narasinya bahwa, Raden Tumenggung Nitinegoro berada di fihak belanda bersamaan dengan para penggede dari keraton mataram Ngayogjokarto.

Bahkan dalam harian solo post juga menyebutkan bahwa, istilah Tritunggal itu di sebutkan Nama nama yang menyusun siasat perang Diponegoro atau perang jawa antara lain 

1. K.R.T Prawirodigdoyo
2. Ingkang Sinuhun Kanjeng Senopati Pakubuwono VI yang berjuluk Sunan Banguntopo
3. Raden Mas Ontowiryo yang kemudian di kenal dengan sebutan Pangeran diponegoro

Bangunan Makam K.R.T Nitinegoro

Kutipan lain dari sumber fdokumen.com memberi pernyataan tentang Kisah K.R.T Niti Negoro

Kanjeng Raden Tumenggung Niti Negoro adalah putera seorang bupati kendal ( Tidak di sebutkan Nama Bupati kendal ). Ketika itu beliau berkelana mencari puteranya yang bernama Raden Satren, setelah lama dalam pencarian akhirnya berhail menemukan puteranya itu di desa selomiring. Selain berjalannya waktu, Raden Satren di jadikan menantu oleh Kyai Raden Merto Ngasono, seorang tokoh masyarakat terkemuka di desa selomiring yang berasal dari lamongan Jawa Timur. Dari perkawinan puteranya itu, K.R.T Niti Negoro mendapat seorang cucu yang bernama Wongso Taruno. Setelah dewasa bersama dengan warga selomiring, Wongs Taruno bercocok tanam padi gogo sebagai salah satu mata pencahariannya. 

Pada suatu ketika Wongso Taruno menghadap ke Raja Surakarta, untuk mempersembhakan nasi liwet yang berasal dari padi gogo hasil bumi dari desa selamiring. Sampai keraton nasi yang di bawanya itu masih dalam keadaan hangat dan membuat sang Rasa merasa tersanjung. Lalu berpesan kepada Wongso Taruno, untuk menamai desa tersebut gogo dalem yang berasa dari gogo yang di alem ( di puji ). Berasal dari pujian itulah nama selomiring menjadi nama desa dengan sebutan gogodalem.

Cerita dari kepala desa yang akrab di panggil Pak Samudi. Ada beberapa tinggalan dari K.R.T Nitinegoro berupa bangunan Masjid dan Kitab Blawong. Kitab Blawong adalah Kitab yang di tulis dengan tangan, dan membutuhkan tidak sedikit waktu, itupun dengan tahap tahap tirakat dan riadzoh. 


Makam K.R.T Niti Negoro

Memang tidak ada catatan khusus mulai dari penelitian yang berlanjut. Hanya cerita rakyat yang mampu mengemas tentang sepak terjang K.R.T Nitinegoro. Akan tetapi, kisah sejarah yang di rangkum oleh rogobrantibandung.blogspot.com menyinggung tentang sepak terjang K.R.T Nitinegoro menyatakan bahwa. Sepak terjang beliau terjadi saat perang Jawa atau Dee Java oorlog pada tahun 1825 - 1830 yang terjadi di tegalrejo magelang dan karanggede boyolali.

Pendapat dari saya pribadi, melihat bukti yang di tinggalkan beliau dari konstruksi bangunan masjid kauman, Bangunan tersebut memiliki langgam pakubuwanan jika saya menyebutnya, dan di bangun kisaran abad ke 19. Bangunan masjid tersebut mengadopsi kostruksi bangunan masjid agung demak. Terlihat pada bagian serambi, ruang utama masjid, tempat pengimaman masjid, dan yang paling khas adalah tajuk yang tersusun tiga tumpang mengerucut ke atas membentuk piramida.

Ciri khas berikutnya adalah empat soko guru utama, yang di ikuti dua belas soko pengapit di bagian sisi sisinya, fungsinya untuk menyokong bangunan sebagai penguat tambahan, setiap soko guru di sokong tiga tiang pengapit.
Bagian serambi masjid terdapat delpan soko pengarak, sebagai penopang kuda kuda banguan yang berjumlah empat sap.

Nama komplek makam yang di jadikan pusara K.R.T Nitinegoro, di sebut Sentono. Makam sentono merupakan tempat peristirahatan terakhir untuk seorang tokoh yang masih mempunyai kaitan erat dengan keraton jogjakarta. Entah beliau tokoh yang mempunyai jabatan atau justru beliau masih keluarga keraton. Dengan adanya kisah yang saya dapat dari daerah lain, istilah sentono selalu di kaitkan dengan perjuangan Prajurit Pangeran Diponegoro saat melawan penjajah. Setiap makam selalu di tandai dengan adanya pohon kemuning.

Yang berikutnya adalah jirat dan nisan yang berbahan baku dari kayu. Makam dengan konsep demikian sebenarnya sudah populer sejak abad ke 19 di jawa tengahan. Jika saya pribadi menyebutnya, langgam pakubuwanan periode 1800an.

Jadi, jika saya menarik kesimpulan tersebut, K.R.T Nitinegoro ada benarnya juga jika beliau pernah hidup atau memiliki sepak terjang pada masa Pakubuwono. Kalau di Jogja Hamengkubuwono, bisa jadi K.R.T Nitinegoro Pahlawan dari jogja yang membantu pertempuran Pangeran Diponegoro

Selagi sumber yang sah sebagai penguat sejarah belum di ketemukan, maka asumsi pasti akan berkata lain. Dan setiap pemikiran akan mengeluarkan pendapatnya masing masing.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU LUMPANG DAN UNFINIS YONI KENDALI SODO

SITUS CANDI DI MAKAM WALIULLOH KHASAN MUNADI

MAKAM WALIULLOH SYECH SUDJONO DAN KE DUA SAHABATNYA