MAKAM TUMENGGUNG JAYENGRONO, PABELAN, SEMARANG




" MAKAM TUMENGGUNG JAYENGRONO "


Komplek Makam Tumenggung Jayengrono

Masih tetap sama dengan kegiatan saat libur kerja, menyempatkan blusukan ke makam makam dan tempat tempat yang di keramatkan. Tidak jadi persoalan tentang pemikiran orang lain, dengan kegitan yang saya lakukan ini. Karena, setiap penilaian orang lain memiliki pemikiran yang berbeda beda tentunya.  Pemikiran tersebut keluar berdasarkan tingkat kesadarannya masing masing. Tingkat kesadaran itu menghasilkan  pemikiran antara positif dan negatif.

Contoh pemikiran yang positif:

1. Masyarakat akan mensuport dan memberikan analisanya berupa pendapat, yang kemudian akan di sampaikan lewat pesan. Suport tersebut berisi tentang dorongan dan semangat, untuk tetap melakukan kegiatan yang bermanfaat. Pendapat dari masyarakat biasanya berisi tentang bagai mana cara menindak lanjuti obyek yang kita datangi.

2. Memberikan saran dan masukan untuk pengembang obyek tersebut, jika memang obyek yang di maksud memiliki sisi sejarah yang bermanfaat. 

3. Meminta untuk menceritakan alur makna dan tujuan tentang obyek yang kita datangi. Dengan harapan supaya, warga sekitar lebih yakin bahwa obyek tersebut mengandung unsur sejarah. Dan tidak ada keraguan untuk ikut berperan serta melindungi dan melestarikan obyeknya.

Untuk pandangan yang negatif :

Saya kira untuk kejadian ini banyak yang mengalaminya. Mungkin, dari teman teman yang memiliki hobi dan kegiatan yang sama, akan mendapatkan perhatian dan penilaian yang negatif. Penilaian negatif itu berupa doktrin yang mengarah tentang ke musrikan, perklenikan ( mencari benda pusaka atau benda bertuah lainnya ). Karena, tempat yang kita datangi tidak lain berupa kuburan atau makam makam kuno, tempat tempat yang di keramatkan semacam bangunan kuno berupa reruntuhan candi maupun  jejak masa colonial. Dan itu sudah menjadi resiko dari kegiatan yang kita lakukan.

Perlu di ketahui, bahwa sesungguhnya kegiatan yang kita lakukan tidak lain hanya untuk mengenal sejarah kebudayaan bangsa. Mendatangi, mengenali dan melestarikan, itu pokok tujuan yang utama.

Mendata sebagai catatan pribadi, menulis dan membuat video, lalu mempublikasikan lewat media internet merupakan cara mengenalkan obyek tersebut. Dan kita pun tau porsinya, mana yang pantas di publikasikan dan mana yang jangan di publikasikan.

Sama halnya saat kita mendatangi makam makam tua, kita bertujuan menziarahi, mendoakan orang yang sudah meninggal, dan berusaha mencari jati diri seseorang yang di makamkan, walaupun yang kita lakukan hanya sekedar mempelajari dan memvisualkan pahatan batu nisannya.

 Pada dasarnya, kegiatan yang saya lakukan ini baik untuk diri saya. Mungkin juga, bisa di bilang tidak baik untuk orang lain.

Kali ini saya berkunjung lokasi keberadaan makam sepuh langgam Pajang di Dusun Pete, Desa Sukoharjo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah

Jika mendengar nama nama tokoh pada masa kejayaan kerajaan di Jawa, naluri terpaku dengan membayangkan kehidupan beliau pada masa itu. Walaupun sekedar gambaran ilustrasi saja, seolah olah kita ikut menyaksikan sepak terjang beliau memimpin suatu peradaban masa itu.

1. Dan, siapakah yang di maksud dengan Tumenggung Jayengrono tersebut .. ???
2. Kenapa nama Tumenggung Jayengrono bukan cuma satu saja, melainkan banyak dari berbagai atau beda masa .. ???
3. Apa peran beliau pada masa pemerintahan yang masih berbentuk Kerajaan .. ???
4. Dan, kenapa beliau di makamkan beda komplek dengan pemakaman umum yang berada disatu tempat .. ???

Tumenggung adalah sebutan nama jabatan seorang tokoh yang di tuakan, yang diberi wewenang dan kepercayaan karena  mampu menjadi seorang pemimpin daerah, pada masa sistem pemerintahan kerajaan.

Tumenggung juga bisa di berikan kepada salah seorang yang bukan keturunan dari bangsawan, melainkan dari kalangan rakyat biasa pun bisa memilikinya. Apabila mempunyai keahlian atau kelebihan  yang sekiranya bisa membantu dalam perlindungan dan keamanan Negara atau kerajaan. Semisal dalam strategi perang. Jika jabatan tumenggung di pakai dalam sistem kemiliteran maka, jabatan tersebut masih di bawahnya Senopati.

Nama Tumenggung Jayengrono, sering di sebut sebut oleh warga dusu pete, desa Sukoharjo, kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang. Nama tunggung merupakan nama yang di sematkan oleh pejabat kerajaan pada masa itu, sebuah jabatan yang cukup tinggi untuk kepala daerah atau Distric yaitu luas wilayah yang setara atau setingkat dengan kabupaten. Pada masa kepemimpinan Sultan sultan Mataram Islam

Semakin majunya zaman, nama distrik memiliki luas wilayah setara dengan kecamatan atau kawedanan. Kepala distrik atau kawedanan di sebut dengan Wedana, peralihan kekuasaan wedana terjadi setelah Pasca Perang iponegoro pada tahun 1830.


Komplek Makam Tumenggung Jayengrono

Tumenggung Jayengrono, yang muncul di berbagai wilayah di pulau jawa khususnya Jawa tengah dan Jawa timur, yang banyak dipakai oleh orang orang penting pada masa pemimpin yang berbeda. Jayengrono merupakan nama sebutan, julukan atau nama gelar yang di sematkan kepada seseorang dari pemimpinnya. Karena pembawaan atau karakter yang sudah melekat dalam dirinya. Yang bisa berpengaruh di dalam kehidupan orang banyak. Gelar Jayengrono berasal dari dua kalimat bahasa Jawa yaitu " Jayeng dan Rono " Kalimat Jayeng sendiri memiliki Arti " Menang ", sedangkan " Rono " sendiri memiliki Arti Kesana. Jika kedua kalimat tersebut di gabungkan akan menunjukan aktifitas dari sebuah pekerjaan, yaitu Menang Rono. Jika di sebutkan dalam Bahasa Indonesia artinya Menang Kesana atau kesana menang. Dari gelar tersebut, saya berpendapat bahwa, Jayengrono merupakan sebuah gelar yang di sematkan oleh sang pemimpin. Karena mempunyai sifat yang menunjukan sebuah keberhasilan di dalam bidang apapun. Kata menang juga tidak harus merujuk pada satu bidang saja yang artinya menang dalam mengalahkan. Namun, kata menang juga bisa memiliki arti sebuah keberhasilan.

Antara keberhasilan memimpin suatu daerah atau keberhasilan memimpin kemenangan  mengalahkan dalam peperangan.

Saya akan menampilkan beberapa kutipan dari narasumber yang berbeda, yang membahas  perihal tentang siapakah sosok Tumenggung Jayengrono 

Sumber yang pertama dari kompas.com

Menurut Sejarah, Raden Tumenggung Jayengrono adalah Putera dari Raden Mas Sasangka atau Adipati Harya Metaun, Adipati dari Jipang ( Bojonegoro ). Beliau Masih trah dari Sunan Pakubuwono dari garwo selir. Beliau menyamar dari kebangsawanannya, bergabung dan menjadi rakyat biasa di desa Kranggan Sukorejo wilayah ponorogo, tepatnya pada tahun 1696. di desa tersebu beliau membantu keamanan desa yang kala itu masih rawan. Pada saat Sunan Pakubuwono II mengungsi ke Ponorogo beliau melewati desa Kranggan, di situlah Jayengrono bertemu dengan Sunan Pakubuwono. Permintaan Sunan Pakubuwono terhadap Jayengrono, untuk Ndereke ( Jawa ) atau di minta untuk mengikutinya. Karena Sunan Pakubuwono yakin bahwa Jayengrono masih keturunan bangsawan, terlihat dari sopan santunnya, halus dalam penyampian ucapannya. Akhirnya Jayengrono Ndereke sang sunan yang bertirakat dalam pelarian di daerah Pulung, Sawo, Bayangkaki, Tegalsari, Menang, samapi kondur atau pulng ke kerjaan untuk merebut tahtanya kembali.

Sebagai hadiah karena jasa Jayengrono ikut membantu merebut tahta kerajaan, beliau di anugerahi jabatan sebagai Bupati dan mendapat gelar Tumenggung pada tahun 1745. Kala itu, Bupati Ponorogo Raden Subroto mempersilahkan Tumenggung Jayengrono untuk memilih tempat yang akan menjadi wilayah untuk membuka lahan. Daerah tersebut sekarang menjadi Siman, Mlarak dan Pulung. Kala itu bernama kabupaten Pedanten yang berpusat di patihan kidul atau Sisi selatan Siman.

Untuk kutipan sumber yang kedua jaringansantri.com 

Ketika pasukan Sunan Kuning ( Mas Garendi ) yang di pimpin Kapitan sepanjang dari arah salatiga dan boyolali berhasil menggempur benteng dan menguasai Kartasura pada Juni 1742, Pakubuwono II dievakuasi oleh Kapitan Van Hohendorf ( VOC ) dan melarikan diri ke arah timur dan menyeberangi Bengawan Solo ke Magetan sampai Ponorogo. Peristiwa tersebut di tandai dengan condrosengkolo yang berbunya " Pandito Enem Angoyog Jagad " artinya Raja yang kehilangan keratonnya. Dalam pelarian, Pakubuwono II kelelahan dan beristirahat di suatu tempat. Di sana beliau di beri badeg ( air ketan ) oleh warga. Tempat tersebut menjadi toponimi suatu daerah yang di sebut dengan badegan arah barat Alun alaun ponorogo. Yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Purwantoro Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah.

Pakubuwono II melanjutkan perjalanan ke arah timur hingga menemukan sebuah padukuhan kecil dengan bangunan rumah yang sudah tertata rapi beserta alun alun kecil. Pakubuwono II singgah ke salah satu rumah yang besar. Dan ternyata rumah tersebut adalah milik Raden Jayengrono. Setelah bertanya kepada Raden Jayengrono, Pakubuwono II bercerita tentang pelariannya sampai ke Ponorogo. Setelah kejadian tersebut, Pakubuwono II mengetahui bahwa Raden Jayengrono masih memiliki trah keturunan dari Pakubuwono I( kake90 pakubuwono II ) dan terhitung masih paman Pakubuwono II walaupun masih seusia.

Raden Jayengrono adalah putera dari Raden Sasongko atau Adipati Arya Metahun, Bupati Jipang Bojonegoro dengan Istri Raden Ayu Puti / Nyi Mas Sasonko puteri dari Bupati Ponorogo Pangeran Mertawangsa II. Adipati Arya Metahun Sendiri adalah putera dari Pakubuwono I dengan Istri Raden Ayu Kanastren puteri R. Arya suroloyo puteri Panembahan Pruwito putera Pangeran Prawoto putera Pangeran Trenggono putera Raden Fattah Sayyid Panotogomo.

Dalam hal ini Raden Arya Metahun bersambung nasab sampai ke Majapahit dari jalur Raden Bondan Kejawen dari garis Ayah dan jalur Raden Fattah dari garis ibu. Adapun dari garis istri bersambung sampai Batara Katong Ponorogo, Jadi Arya metahun bukan berasal dari Bhre Metahun sebagaimana di duga oleh beberapa orang.

Sumber kutipan dari :
Purwowijoyo, Babad Ponorogo Jilid III

Komplek Makam Tumenggung Jayengrono

Berikutnya sumber dari pulungmania.blogspot.com berpendapat tentang ulasannya

Raden Tumenggung Jayengrono adalah anak laki laki dari Raden Mas Sasangka atau Adipati Harya Metahun, yang dulu pernah menjabat Adipati di Jipang kota Bojonegoro.
Pada tahun 1696 Raden Tumenggung Jayengrono pindah dari Jipang ke kota Ponorogo tepatnya di dusun Jayengrono, desa Kranggan, Kecamatan Sukorejo. Di utus oleh Adipati Polorejo pada tahun 1708, Raden Tumenggung Jayengrono berpindah tugas di Ponorogo lebih tepatnya sebelah timur untuk menjadi staf kantor adipati ponorogo sampai tahun 1742. Pada tahun 1780, Raden Tumenggung Jayengrono wafat dan di makamkan di komplek pemakaman yang bernama Jayengrono.

Berikut kutipan yang saya ambil dari tiga narasumber yang berbeda, namun memiliki pandangan yang sama


Komplek Makam Tumenggung Jayengrono

Tumenggung Jayengrono merupakan nama Jabatan dan sematan yang di berikan oleh sang penguasa tunggal di dalam sistem pemerintahan berupa kerajaan. Sehingga, nama Tumenggung Jayengrono banyak di pakai oleh orang orang sebelum dan sesudahnya. Dan nama tersebut dapat kita jumpai di berbagai daerah khususnya di pulau jawa dan madura. Orang orang yang memiliki jabatan atau keahlian khusus tidak akan di sebutkan nama aslinya, kebanyakan yang sering di kenal malah nama sematan atau julukannya saja.

Kenapa demikian .. ??? Karena, nama tersebut sudah populer dan sudah banyak di kenal orang atau masyarakat yang di pimpinnya.

Komplek Makam Tumenggung Jayengrono

Kenapa makam sosok seorang pemimpin tidak di jadikan satu sekomplek dengan makam makam pada umumnya .. ???

Dalam tradisi atau budaya pemakaman yang di terapkan sejak Islam masuk ke Nusantara, penataan atau pemetaan makam sudah di lakukan mulai dari yang di anggap sepuh atau tertua. Tertua disini tidak melihat dari segi umurnya, melainkan dari jabatan, pangkat tertinggi dan derajad.

Sama halnya komplek makam kasepuhan yang berada di dusun pete, desa Sukorejo. Komplek makam paling ujung utara baris pertama, bersemayam Tumenggung Jayengrono beserta keluarganya.
Baris kedua bersemayam para Penasehat dan juga guru spiritual yang setingkat dengan alim Ulama'.
Baris berikutnya pembesar era era berikutnya.

Jika kita melihat nisan tumenggung Jayengrono, pahatan tersebut hampir menyerupai pahatan nisan langga Demak. Walaupun sebenarnya memiliki perbedaan tipis dalam pahatan dan perbedaan waktu masa pengabdian. Nisan tersebut memiliki langgam yang di sebut dengan langgam pajang abad ke 16. Artinya, Tumenggung Jayengrono adalah seorang pejabat pemerintahan dalam ketatanegaraan masa kerajaan pajang. Jabatan beliau sekelas dengan bupati, kekuasaan yang beliau pegang pun setingkat dengan kabupaten.

Analisa saya pribadi

Jika memang benar makam Tumenggung Jayengrono  berada di dusun sepete, desa sukoharjo, kecamatan Pabelan. Berarti Existensi beliau di bidang pemerintahan sangat berpengaruh di kota salatiga dan sekitarnya. Beliau mejabat sebagai Tumenggung di salatiga, dengan luas wilayah termasuk Kecamatan Bringi, Bancak, Suruh, Tengaran, Pabelan, Susukan dan Tuntang. Pada masa kejayaan kerajaan pajang Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya.

Itu merupakan analisa saya pribadi, yang saya cantumkan dengan sumber yang benar benar ada dan nyata. Yaitu, berupa pahatan batu nisan yang memiliki langgam  pajang abad ke 16an.p


22 februari 2023
10 : 40 Pas
#GoesDancoex







Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU LUMPANG DAN UNFINIS YONI KENDALI SODO

SITUS CANDI DI MAKAM WALIULLOH KHASAN MUNADI

MAKAM WALIULLOH SYECH SUDJONO DAN KE DUA SAHABATNYA